Bagaimana pemuda dapat berperan dalam kebijakan pendidikan?

Oleh Nisa Felicia dan Syifa Tsamara Sejati

Keterlibatan pemuda dalam kegiatan pendidikan di akar rumput sangat penting dan sudah mulai banyak diinisiasi. Saat ini, sudah ada 124 komunitas dan organisasi yang tergabung dalam jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG), yang bergerak secara kolaboratif untuk menguatkan pendidikan dari berbagai aspek termasuk literasi, pendidikan keluarga, pengembangan guru, pengembangan anak muda, pendidikan karakter, teknologi pendidikan, dan pendidikan inklusif. Dalam kesempatan menyambut Sumpah Pemuda ini, kami akan fokus pada partisipasi pemuda dalam konteks yang lebih spesifik, yaitu kebijakan pendidikan. 

Siapakah yang dimaksud dengan pemuda? Merujuk pada definisi BPS yang berdasar pada Undang-Undang No.40 tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun. Menurut Susenas (2020), perkiraan jumlah pemuda di Indonesia adalah sebesar 64,50 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk Indonesia (23,86 persen). Ini adalah generasi yang hampir seluruhnya sudah melek huruf dan memiliki akses teknologi informasi, dengan sekitar 85% dari mereka menggunakan internet. Hal ini menjadi modal penting untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Walaupun merupakan generasi dengan angka melek huruf dan akses teknologi informasi yang cukup tinggi, angkatan muda atau pemuda Indonesia saat ini juga merupakan generasi yang kemungkinan memiliki literasi dan numerasi yang relatif rendah dibandingkan dengan pemuda di negara lain, dan hal ini dapat dilihat dari data PISA yang menunjukkan kecenderungan tersebut. PISA (Programme for International Student Assessment) adalah asesmen internasional tiga tahunan yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mengukur kemampuan anak berumur 15 tahun dalam membaca, kemampuan matematika dan pengetahuan sains, dan kemampuan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan. Pada tahun 2000, rerata skor literasi membaca (reading literacy) remaja usia 15 tahun di Indonesia adalah 371, sementara rata-rata internasional adalah 493. Skor tersebut menunjukkan bahwa mayoritas remaja Indonesia memiliki kemampuan rendah dalam memahami bacaan secara kontekstual, serta dalam bernalar kritis untuk menggunakan informasi dalam bacaan sebagai referensi dalam membangun pendapat atau menyelesaikan masalah.

Mengapa membicarakan kemampuan literasi remaja Indonesia tahun 2000? Mereka yang berusia 15 tahun pada tahun tersebut, kini merupakan angkatan muda Indonesia. Mereka berada pada kelompok usia produktif yang sangat berperan dalam menguatkan sistem demokrasi bangsa kita. Skor PISA tersebut memang belum tentu menjadi cerminan kemampuan literasi pemuda Indonesia saat ini karena harapannya, semakin dewasa kemampuan literasi semakin terbangun. Akan tetapi, ada data lain yang menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi masyarakat Indonesia (umumnya angkatan muda) di dunia maya masih memprihatinkan. Kemampuan komunikasi ini tidak lepas dari literasi, dan menurut Indeks Literasi Digital, Indonesia menjadi negara dengan indeks kesopanan digital (Digital Civility Index/ DCI) paling buruk se-Asia Pasifik di tahun 2020, meskipun ada peningkatan di tahun berikutnya. Indeks ini mencerminkan rentannya masyarakat digital Indonesia, atau yang biasa dikenal sebagai netizen, terhadap hoaks dan penipuan serta maraknya ujaran kebencian. 

Literasi adalah modal penting dalam partisipasi dalam sistem demokrasi, termasuk dalam mempengaruhi kebijakan. Pemuda dengan literasi yang tinggi akan mampu memberikan umpan balik, argumen dan kritik, serta rekomendasi yang kuat dan membangun. Dan kemampuan ini, sebagaimana ditunjukkan data di atas, masih merupakan tantangan generasi muda Indonesia. Salah satu kutipan pidato Bung Karno yang terkenal adalah

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” 

Beberapa orang menginterpretasikan “melawan bangsa sendiri” sebagai masalah-masalah ekonomi, sosial, dan persatuan bangsa. Kami melihat adanya masalah lain yang menjadi “musuh” untuk dilawan, yaitu literasi yang rendah. 

Ketika sistem mengatur bahwa pemerintah perlu melibatkan pemangku kepentingan termasuk pemuda dalam proses kebijakan, tidak jarang keterlibatan pemuda hanyalah partisipasi yang semu. Mereka dilibatkan hanya sekadar menjadi dekorasi dari prosesnya saja, misalnya diundang dalam suatu proses jajak pendapat, namun suara mereka tidak benar-benar didengar apalagi mempengaruhi kebijakan. Hart (1992) menilai partisipasi yang demikian sebagai anak tangga terbawah dari bentuk-bentuk partisipasi yang lebih tinggi, yang lebih powerful dalam mempengaruhi kebijakan. Padahal, untuk menaiki anak tangga partisipasi dari yang semu menuju yang lebih bermakna tersebut, literasi adalah modal yang sangat penting.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami bekerja dalam proses kebijakan pendidikan, penguatan literasi akan dapat meningkatkan partisipasi pemuda. Dalam forum-forum diskusi, misalnya, masih banyak kami temui partisipan yang belum menyempatkan diri untuk membaca draf peraturan, namun nampaknya sudah mengambil sikap atau menentukan keberpihakan. Terlebih lagi, kajian dan data juga masih belum menjadi pijakan utama dalam memberikan argumen. Diskusi-diskusi tentang kebijakan pun terkadang tidak dilakukan secara netral tetapi sudah membuat kesimpulan bahkan sejak sebelum diskusi dimulai. Di sisi lain, kami juga masih menemukan bahwa pelibatan mahasiswa, misalnya, hanya terjadi di ujung proses saat kebijakan sudah akan diluncurkan. Selain itu, peran media massa sebagai faktor yang harapannya mendorong pengembangan literasi masyarakat tentang kebijakan pun belum optimal. Berita-berita pendidikan yang diangkat oleh media juga seringkali kurang disertai analisis yang mendalam.

PSPK senantiasa mendukung upaya pelibatan pemuda dalam proses kebijakan pendidikan. Bagi kami, partisipasi semu harus ditinggalkan dan pemuda perlu mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan pendidikan. Selama ini, pemuda Indonesia telah berperan aktif membantu Negara dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan di akar rumput. Gerakan-gerakan pendidikan tersebut merupakan modal yang penting untuk mempengaruhi kebijakan pendidikan, agar peran mereka tidak lagi sekadar mendukung kebijakan atau mengatasi masalah yang belum dapat ditangani pemerintah. Maka dari itu, tantangan literasi, khususnya literasi kebijakan, harus diatasi secara kolektif. Membangun kekuatan kolektif inilah inspirasi yang kami petik dari Sumpah Pemuda

Referensi:

www.pisadataexplorer.oecd.org/ide/idepisa/report.aspx

Add a Comment

Your email address will not be published.