Beranda PSPK Jilid XIII: Belajar dari Ki Hadjar
Jakarta–Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2018, melalui rangkaian Ngobrol Publik Pesta Pendidikan 2018 di Jakarta, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) melakukan diskusi publik Beranda PSPK XIII yang bertajuk “Belajar dari Ki Hadjar” di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Henny Supolo, peneliti PSPK yang juga berperan sebagai Ketua Badan Pengurus Yayasan Cahaya Guru menjadi moderator dalam diskusi. Dalam Beranda kali ini, hadir Iwan Syahril, Ph.D. (peneliti PSPK, dosen Sampoerna University) serta Ir. Totok Suprayitno, Ph.D. (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), selaku narasumber utama. Selain itu, hadir perwakilan dari keluarga Ki Hadjar serta Taman Siswa.
Iwan Syahril membuka diskusi dengan memaparkan konsep pemikiran Ki Hadjar. Hal pertama yang ia sampaikan bahwa pemikiran Ki Hadjar lebih besar dari konteks pendidikan, karena ia merupakan pejuang kebudayaan. Kebudayaan bukan hanya kesenian, tetapi semua aspek kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, dan sosial. Iwan menganalogikan pemikiran Ki Hadjar ibarat tata surya, di mana pusatnya menggambarkan nilai universal, yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan planet yang mengitari nilai universal memiliki percepatan, karakter, dan alamnya masing-masing. Tidak bisa menjadikan Bumi sebagai Venus, atau Mars sebagai Pluto.
Tiga hal utama yang selalu hadir dalam pemikiran Ki Hadjar yaitu perubahan, asas tri-kon, dan budi pekerti. Kebudayaan menurutnya harus tetap mengalami perubahan. Sama seperti planet, kebudayaan tidak bisa berhenti, terisolasi atau mengisolasi. Dalam melihat kebudayaan, nilai-nilai kemanusiaan sifat pokoknya sama, namun, bentuk, isi, dan irama (kodrat alam dan kodrat zaman) inilah yang menantang kita untuk melakukan perubahan.
Kedua, Asas Tri-Kon. Prinsip melakukan perubahan yaitu kontinuitas yakni perubahan dari kebudayaan harus melanjutkan tradisi kebudayaannya sendiri; konvergensi yaitu perubahan tidak boleh menjauh dari nilai universal, nilai kemanusiaan; dan konsentris yaitu walaupun kebudayaan konvergen, namun jangan sampai menghilangkan kepribadiannya sendiri. Terakhir, konsep kebudayaan menurut Ki Hadjar adalah Budi Pekerti. Menurut Ki Hadjar, hal yang berubah yang pertama adalah perubahan, dan kedua adalah budi pekerti.
Dalam paparannya, Iwan pun menyampaikan bahwa pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Pengajar adalah petaninya. Pendidikan hanya bisa menuntun, sama halnya dengan petani yang menanam padi hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman padi, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat iradatnya padi. Ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya tumbuh sebagai jagung.
Berbicara mengenai implementasi yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok sebagai kepala Balitbang Kemdikbud RI memaparkan sejumlah upaya dalam mengimplementasikan konsep Tri Sentra Pendidikan. Sebagai contoh, kebijakan pengurangan jumlah siswa per kelas dimana tujuannya agar sekolah bisa mengoptimalkan potensi setiap siswa, penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang bertujuan memberikan kebebasan guru dalam menumbuhkembangkan inovasi dalam mengajar, serta rencana diberlakukannya rapor karakter, yang menegaskan bahwa sekolah bukan hanya untuk capaian akademik saja.
Selain dua narasumber utama, hadir pula Rangga Dewati Suryaningrat (cicit Ki Hadjar) serta Ki Saur Panjaitan selaku Sekjen Taman Siswa. Rangga bercerita mengenai kebiasaan Ki Hadjar yang mengajarkan nilai-nilai melalui lagu-lagu Jawa. Disini Rangga menegaskan bahwa Ki Hadjar dalam mendidik memakai kebudayaan sendiri. Dalam menegur anak-anak yang salah pun, cara yang digunakan Ki Hadjar adalah dengan berdiskusi. Sementara, Ki Saur memaparkan sistem pamong di Taman Siswa. Semua hal di Taman Siswa ditujukan untuk memerdekakan anak. Anak bukanlah kertas kosong, tetapi ia seperti kertas yang sudah ada garis-garisnya, tugas guru hanya membantu anak menemukan dan menebalkan polanya.
Dalam sesi diskusi, Mahfudhoh (guru SD Harapan Ibu Pondok Pinang) bertanya mengenai apa yang membuat konsep Ki Hadjar belum terwujud saat ini serta pertanyaan dari Rangga mengenai cara menangani kendala saat pelatihan Kurikulum 2013 dimana tidak semua orang bisa menangkap benang merah dari ajaran Ki Hadjar yang sudah diupayakan hadir di K13.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Iwan menjawabnya dengan mengajukan pertanyaan “sudahkah kita merdeka?”. Menurut Iwan, siswa akan merdeka belajar jika gurunya pun merdeka belajar. Merdeka bukan sekadar merdeka, tetapi merdeka yang sistematis dan runut ilmunya. Merdekakan diri dengan ilmu dan belajar. Seperti kutipan Mukhtar Bukhori yang disampaikan Iwan, bahwa“Belajar dari guru yang senang belajar, ibarat minum air dari mata air yang sangat jernih, tetapi belajar dari guru yang enggan belajar ibarat minum air dari air comberan, polutif.”
Mengenai penyimpangan implementasi pemikiran Ki Hadjar, Totok mengakui adanya distorsi pemikiran di lapangan. Tri Sentra Pendidikan itu penting, tidak bisa hanya mengandalkan 20% APBN, serta mencari praktik-praktik baik yang bisa dibagikan kepada yang lain. Totok juga menambahkan, setiap orang harus menjadi pembelajar, termasuk guru. Kurikulum itu bukan buku, tetapi guru. Setiap hal dari guru adalah kurikulum. Maka langkah yang tepat bukan pedoman, tetapi praktik baik.
Saat Iwan dan Totok menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan moderator mengenai apa yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi tantangan abad 21. Menurut Iwan, kuncinya adalah belajar dan merdeka dengan ilmu. Belajar untuk belajar, belajar untuk tidak belajar apa yang tidak perlu, dan belajar kembali dari apa yang sudah dipelajari, tambah Totok.
Diskusi ditutup dengan kutipan pemikiran Ki Hadjar oleh moderator, bahwa “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang berguna untuk orang lain, semua dari kita disini membuktikan bahwa kita ingin sekali membawa api cahaya Ki Hadjar untuk lingkungan.” Selain itu, mengutip apa yang disampaikan Ki Hadjar kepada cucunnya (dalam buku Ki Hadjar), Iwan memaparkan bahwa “Jika ada yg bertanya siapa itu Ki Hadjar, katakanlah bahwa Ki Hadjar adalah orang Indonesia biasa yang bekerja untuk Indonesia dengan cara Indonesia.”