Judul: Beranda PSPK Jilid IX: Setelah Membaca, So What?
Jakarta, 28 September 2017. Berdasarkan data UNESCO, tingkat melek huruf Indonesia (usia 15-24 tahun) sudah berada di rentang 90-100% populasi dari tahun 2004-2015. Akan tetapi, Indonesia belum menunjukkan performa yang baik dalam sejumlah aspek terkait literasi. Melalui pengukuran Programme International of Student Assessment atau PISA, diketahui bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia menempati urutan ke-61 dari 72 negara partisipan PISA lainnya (OECD, 2015). Selain itu, indeks perilaku dan aspek pendukung literasi Indonesia juga tergolong rendah, di mana Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara partisipan World’s Most Literate Nations (WMLN) berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016. Literasi berperan penting baik untuk keberhasilan pembelajaran anak sebagai individu maupun kemajuan suatu bangsa. Dalam upaya mengoptimalkan gerakan literasi di Indonesia, sejumlah pihak menyebarkan praktik-praktik baik di sekolah, komunitas atau masyarakat, bahkan individu.
Berdasarkan hal tersebut, pada hari Jumat 28 September 2017, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menyelenggarakan diskusi publik Beranda PSPK yang ke IX bertajuk “Setelah Membaca, So What?”. Diskusi ini dihadiri oleh 44 orang perwakilan berbagai komponen pendidikan, yaitu: pemangku kebijakan, anak, orangtua guru, kepala sekolah, pengawas, mahasiswa, komunitas, media, dan peneliti pendidikan. Bersama dengan narasumber yang juga mewakili berbagai komponen: Sopan Adrianto (Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta), Itje Chodidjah (Peneliti PSPK dan Anggota Tim Pakar Gerakan Literasi Nasional), Uswatun Hasanah (Guru SD Rorotan 05 Jakarta Utara), dan Aurelia Vizal (Blogger Remaja), serta dimoderasi oleh Najelaa Shihab (Pembina PSPK dan Pendiri Sekolah Cikal), seluruh peserta Beranda PSPK berdiskusi untuk berbagi praktik-praktik baik yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan literasi anak Indonesia, untuk memantik penyebaran praktik-praktik baik tersebut secara lebih luas.
Aurelia Vizal, sebagai perwakilan anak, mengungkapkan bahwa literasi bukan hanya sekedar membaca dan menulis tetapi kemampuan berkomunikasi. Dari kecil, Ibu Aurelia sering bercerita kepadanya, sehingga menstimulus rasa ingin tahunya untuk terus membaca dan memaknai beragam tulisan. Sebagai analogi, literasi menjadi seperti air, Aurelia dikenalkan rasa air sehingga bisa merasa haus, sehingga ia mencari lagi dan mencari sendiri aktivitas-aktivitas yang menumbuhkan kemampuan literasinya.
Itje Chodidjah memaparkan Gerakan Literasi Nasional dan Gerakan Literasi Sekolah di level nasional, termasuk salah satunya gerakan 15 menit membaca di sekolah. Selain di sekolah, orangtua juga berperan penting untuk menumbuhkembangkan literasi anak. Ketika anak dipaparkan cerita secara oral oleh orang tua, anak akan terus mencari dan memiliki kemampuan literasi lebih baik. Sopan Adrianto menyampaikan insiasinya tentang deklarasi DKI Jakarta pada Januari 2016 sebagai Provinsi Literasi. Deklarasi ini mencakup komitmen provinsi untuk membaca lima juta judul buku dalam setahun, oleh 1,7 juta peserta didik, 109 ribu guru, di ribuan sekolah. Menurut beliau, literasi mulai tumbuh di sekolah, walau belum semua memaknai literasi sesungguhnya. Membaca lima menit merupakan langkah awal, namun lebih baik lagi jika tidak hanya membaca, namun juga memaknai. Satu peserta didik diberi kesempatan membaca, sementara siswa lainnya diundang untuk menanggapi, diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan gagasannya tanpa merasa bersalah.
Uswatun Hasanah membagikan pengalamannya dalam memperkuat literasi sekolah, khususnya di SDN Rorotan 05. Pemaknaan literasi di sekolah ini bukan sebagai satu cuplikan program kecil terpisah, namun merupakan suatu bangunan besar yang melingkupi seluruh kegiatan sekolah, mulai dari anak datang, dalam kelas, hingga pulang. Semua lingkungan sekolah harus mendukung dan mendorong literasi siswa, lebih jauh lagi perlu kolaborasi antara siswa, guru, dan orang tua.
Dalam diskusi, peserta juga membagikan praktik-praktik baik dan pembelajaran masing-masing terkait literasi. Antara lain, Rismadhani Chaniago dari Taman Baca Anak Lebah membagikan terkait penguatan literasi usia dini di Indonesia Timur melalui kerjasama dengan PAUD setempat. Rizqan Adhima dari Reality Check Approach menceritakan program Digital Story Telling yang memfasilitasi berbagai pihak untuk menceritakan pendapatnya secara nyaman melalui gambar dan bahasanya sendiri. Hal ini membantu mengumpulkan perspektif yang berbeda-beda terhadap suatu isu dan memantik diskusi. Tati Durriyah, dosen dan praktisi literasi, memaparkan pentingnya pendidikan guru dalam mendukung guru untuk memiliki tradisi membaca dan suka membaca. Menurutnya, jika guru tersebut tidak suka membaca, bagaimana bisa mengajak anak-anak didiknya untuk suka membaca.
Aktivitas diskusi melalui Beranda PSPK ini melahirkan pemahaman bahwa literasi merupakan menjadi salah satu fondasi dasar bagi perkembangan kemampuan anak yang perlu diterapkan tidak hanya dalam satu bagian kecil atau mata pelajaran saja, tapi melingkupi seluruh aspek kehidupan anak, mulai dari masuk sekolah, di tiap pelajaran, hingga pulang, dalam ekstrakurikuler, maupun dalam kehidupan keluarga dengan bimbingan orangtua. Pemerintah perlu terus mendukung literasi, melanjutkan langkah baik program 15 menit membaca, dengan hal-hal substantif lainnya, misalnya mengintegrasikan pendidikan literasi dalam kurikulum pendidikan guru, memberi kesempatan pada anak untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapat, maupun praktik baik lainnya. Diskusi ini ditutup dengan komitmen untuk melanjutkan praktik baik literasi dalam peranan masing-masing.