Kajian Kebijakan Ujian Nasional
Wacana pemberlakuan kembali Ujian Nasional (UN) yang muncul di kalangan masyarakat perlu ditanggapi dengan kajian akademik yang komprehensif. Merespon hal tersebut, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) melakukan kajian terkait efektivitas dan dampak UN berdasarkan empat sudut pandang yang saling berkaitan, yaitu (i) kerangka regulasi, (ii) desain teknis tes, (iii) dampak terhadap pembelajaran, serta (iv) fungsi UN dalam konteks evaluasi pendidikan nasional. Berdasarkan analisis mendalam dari keempat perspektif tersebut, PSPK menyimpulkan bahwa UN memiliki problem fundamental sehingga tidak layak untuk diberlakukan kembali.
Pertama, pada aspek regulasi, UN bertentangan dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori dengan mengambil alih kewenangan evaluasi capaian pembelajaran yang seharusnya berada di tangan pendidik sesuai amanat UU Sisdiknas dan UU Guru Dosen. UN juga tidak selaras dengan prinsip keadilan dalam Pancasila karena menetapkan standar tes yang seragam tanpa mempertimbangkan adanya kesenjangan kualitas dan akses pendidikan yang masih terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Penyelenggaraan UN terbukti tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta bertentangan dengan asas kepentingan umum dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kedua, analisis pada aspek teknis menunjukkan bahwa UN tidak memenuhi tiga prinsip dasar pengukuran yang baik yakni validitas, reliabilitas, dan fairness. Sebagai instrumen evaluasi pendidikan, UN hanya mengukur aspek kognitif dan gagal memotret kompetensi murid secara utuh sesuai tujuan pendidikan nasional. Pelaksanaan UN di akhir jenjang membatasi fungsi asesmen sebagai umpan balik untuk perbaikan pembelajaran. Karakteristik UN sebagai asesmen yang berisiko tinggi (high-stakes) mendorong berbagai praktik culas yang menurunkan validitas hasil pengukuran, seperti kecurangan dan inflasi skor.
Ketiga, dalam konteks pembelajaran, UN tidak mendukung proses pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kompetensi abad 21 seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi dan kolaborasi. Sebaliknya, UN justru mempersempit proses pembelajaran menjadi sekadar latihan menjawab soal ujian (teaching to the test). UN juga menimbulkan tekanan psikologis yang menghambat tumbuhnya motivasi intrinsik, resiliensi, dan efikasi diri murid. Di sisi lain, UN mendorong guru untuk mereduksi perannya menjadi sekedar “pelatih tes UN” dan mengurangi kreativitas dalam pembelajaran.
Keempat, sebagai instrumen evaluasi sistem, UN tidak efektif karena tumpang tindih fungsinya sebagai penilaian individual dan evaluasi sistem. Karakteristik UN yang berisiko tinggi membuat hasil UN tidak memberikan gambaran akurat tentang kondisi pendidikan karena adanya dorongan kuat untuk meningkatkan skor tanpa peningkatan pembelajaran yang nyata. Cakupan UN juga terlalu sempit untuk mengevaluasi sistem pendidikan karena hanya berfokus pada aspek kognitif dan tidak menyertakan informasi kontekstual penting lainnya yang mempengaruhi capaian pembelajaran.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, PSPK merekomendasikan: (i) pengembangan dan
implementasi sistem asesmen terstandar nasional yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional, (ii) asesmen nasional berbasis sampel untuk menjaga agar asesmen tetap bersifat low-stakes sehingga dapat memberikan gambaran akurat mengenai capaian pembelajaran anak, (iii) asesmen juga harus dilengkapi dengan informasi kontekstual yang lengkap, dan (iv) asesmen tidak dilakukan di akhir jenjang sehingga dapat menjadi umpan balik untuk perbaikan pembelajaran. Upaya ini perlu didukung dengan peningkatan kapasitas guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan dalam merancang dan melaksanakan asesmen yang sesuai dengan kebutuhan murid.