Kebijakan Pendidikan yang Berpihak Kepada Anak

Berpihak Kepada Anak

Sejak berdirinya pada tahun 2015, PSPK berkomitmen untuk mendorong kebijakan pendidikan yang berpihak pada anak. Menyadari bahwa suatu kebijakan tidak dapat memenuhi harapan seluruh pemangku kepentingan, maka PSPK memilih anak sebagai pihak yang paling utama untuk menerima manfaat sebesar-besarnya dari semua kebijakan pendidikan. Kalaupun kebijakan tersebut tidak langsung berkaitan dengan anak, maka harus dipilih opsi kebijakan mana yang tidak berisiko buruk pada anak. Namun demikian, PSPK memandang bahwa semua kebijakan pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan anak sehingga memberikan dampak positif pada pembelajaran mereka.  

Jika dilihat dari permukaan saja, terkesan bahwa kebijakan pendidikan tidak banyak yang langsung dirasakan oleh anak. Misalnya kebijakan tentang beban kerja guru dan linearitas guru. Kebijakan tersebut sudah jelas untuk guru, yang ditujukan untuk menentukan guru mana yang dapat dianggap Pemerintah layak untuk mengajar suatu mata pelajaran, bagaimana akuntabilitas kerja mereka diukur, dan seterusnya. Tetapi ketika merumuskan advokasi arah perubahan kebijakan tersebut, PSPK tetap menggunakan pertanyaan besar: “opsi kebijakan mana yang paling memberikan manfaat untuk anak? Opsi mana yang paling kecil risikonya terhadap kualitas pembelajaran anak?” Singkatnya, bagi PSPK anak adalah penerima manfaat utama setiap kebijakan pendidikan. 

Anak yang dimaksud PSPK adalah seluruh penerima manfaat (beneficiaries) dari sistem pendidikan. Artinya, anak tidak terbatas pada usia kanak-kanak saja tetapi juga termasuk mahasiswa. Mereka adalah anak bangsa yang perlu diasuh, dirawat, dan dipenuhi hak-hak pendidikannya oleh Negara dan dengan dukungan masyarakat yang sebenarnya juga berkepentingan untuk terciptanya generasi yang terdidik. 

PSPK menggunakan sebutan “anak”, bukan murid, siswa, apalagi peserta didik yang memberikan kesan pasif bahwa seseorang merupakan peserta, bukan agen aktif dalam proses pembelajaran. Sebaliknya, PSPK memandang bahwa belajar adalah proses yang merdeka dengan tujuan untuk memerdekakan diri. Merdeka yang dimaksud sejalan dengan apa yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara, yaitu kemampuan untuk “hidup dengan kekuatan sendiri, menuju ke arah tertib-damai serta selamat dan bahagia, berdasarkan kesusilaan hidup manusia”. Sehingga bagi PSPK, kebijakan pendidikan perlu senantiasa mengarah pada kemampuan anak untuk meregulasi dirinya sebagai insan yang merdeka untuk belajar sepanjang hayat. 

Seseorang hanya beberapa jam saja dalam sehari menjadi murid atau siswa, namun ia adalah anak sepanjang hari, minggu, tahun. Begitu ia keluar dari gerbang sekolah, maka ia bukan lagi murid. Di rumah ia bukan lagi murid, di antara teman-teman sepermainannya ia bukan lagi murid, tetapi di semua lingkungan luar sekolah tersebut ia belajar, sengaja ataupun tidak sengaja,

meskipun statusnya tidak sebagai murid. Dengan memandang mereka sebagai anak, PSPK berusaha peka dengan pengaruh faktor luar sekolah terhadap keberhasilan pendidikan mereka. Bagaimana pola asuh keluarga berperan terhadap perkembangan literasi, bagaimana lingkungan masyarakat sekitar berpengaruh terhadap aspirasi, dan seterusnya. 

Memandang individu secara utuh sebagai anak membuat PSPK menjadi lebih peka akan kesenjangan kesempatan pendidikan yang dipengaruhi latar belakang sosial-ekonomi anak. Artinya, disparitas kualitas hasil belajar tidak hanya disebabkan kualitas guru, kurikulum, ataupun sarana prasarana yang merupakan faktor-faktor sekolah (school factors). Sebagaimana ditunjukkan berbagai penelitian, PSPK memperhatikan bahwa faktor luar sekolah (out-of-school factors) seperti pekerjaan orangtua, pendidikan orangtua, serta indikator socioeconomic status atau SES lainnya tidak dapat diabaikan dalam perumusan kebijakan pendidikan meskipun insititusi pendidikan tidak dapat meregulasi orangtua dan masyarakat (misalnya kebijakan tentang upah minimum yang mempengaruhi kemampuan orangtua dalam pendidikan anak bukanlah kewenangan sektor pendidikan). Dengan kepekaan tersebut, PSPK senantiasa mendorong kebijakan yang berpihak kepada semua anak, baik yang sudah maupun belum sejahtera. PSPK juga konsisten mendukung kebijakan pendidikan yang afirmatif. 

PSPK juga memandang adanya keterkaitan yang kompleks antara faktor sekolah dan faktor luar sekolah. Inilah yang mengakibatkan kesenjangan kesempatan pendidikan yang sistematis terus terjadi dari tahun ke tahun, generasi ke generasi. Pertanyaan yang senantiasa dikritisi PSPK antara lain adalah: ke sekolah dengan kondisi apa anak-anak miskin belajar, dan seperti apa kualifikasi dan kompetensi guru yang memfasilitasi mereka belajar? Semulus apa jalan yang disediakan Negara untuk mereka tempuh agar dapat melanjutkan perjalanan akademik hingga Pendidikan Tinggi? Anak yang mana yang paling mendapatkan manfaat dari anggaran pendidikan yang disediakan Pemerintah? Diawali dengan melihat setiap individu sebagai “anak”, PSPK dapat lebih peka dalam melihat keterkaitan antara isu akses, kualitas, dan kesempatan untuk mendapatkan manfaat nyata dari pendidikan untuk kesejahteraan setiap anak Indonesia. 

Melihat individu sebagai anak, bukan murid apalagi peserta didik berarti memahami kompleksitas pembelajaran. Alih-alih pesimis atas rumitnya isu kesenjangan tersebut, PSPK justru terus tertantang mencari jalan untuk mendorong kebijakan pendidikan yang berkeadilan. Kebijakan pendidikan yang berkeadilan didasari pada prinsip bahwa latar belakang keluarga, jenis kelamin, abilitas, lingkungan tempat tinggal (perdesaan atau perkotaan), agama, etnis, suku, serta kelompok sosial ekonomi budaya lainnya (faktor luar sekolah) bukan alasan yang menjelaskan disparitas akses dan kualitas hasil belajar. Kolaborasi untuk membangun collective impact menjadi salah satu strategi yang terus diadvokasikan oleh PSPK. Setiap pemangku kepentingan perlu mengambil peran untuk mendukung pembelajaran anak di dalam maupun di luar sekolah. Berperan dalam proses belajar anak, pengembangan kompetensi guru, maupun dalam perancangan dan penelitian kebijakan. PSPK juga terus berupaya membangun empati, memperluas wawasan tentang kondisi pendidikan Indonesia melalui berbagai kajian, karena sadar bahwa kebijakan pendidikan seringkali dirumuskan oleh mereka yang memiliki privilege, yang tidak cukup memiliki perspektif tentang tantangan anak-anak Indonesia terutama dari kelompok SES rendah. Diawali dengan memikirkan “anak Indonesia”, PSPK memandang sistem pendidikan sebagai open system, bukan sistem yang eksklusif yang hanya membutuhkan peran pemerintah dan jajarannya saja. Sebaliknya, PSPK senantiasa berupaya untuk mewujudkan prinsip bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.