Pelibatan Mitra Pembangunan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan

Sebuah aliran dalam sosiologi pendidikan mengasumsikan bahwa sektor pendidikan tidak berada di ruang hampa. Sebab, ia berelasi dengan berbagai aktor di luar dirinya — yang memiliki kepentingan dan ideologi tertentu — dalam menjalankan berbagai aktivitas, termasuk implementasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan pendidikan tertentu. Aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan dikenal sebagai mitra pembangunan. Selain menguraikan diferensiasi peran mitra pembangunan dalam mendukung implementasi kebijakan, tulisan singkat ini menyinggung bagaimana mitra pembangunan juga dapat menghambat implementasi kebijakan khususnya di bidang pendidikan. 

Inggrid Helleve (2010) berargumen bahwa institusi pendidikan – dengan segala aktor-aktor di dalamnya – tidak dapat bersandar pada dirinya sendiri. Atas dasar itulah, ia menggunakan istilah ‘komunitas para pembelajar’ (community of learners) yang terdiri atas para guru yang memerlukan panduan pihak eksternal untuk berkembang. Argumen Helleve selaras dengan kajian Sagie, Yemini, dan Bauer (2016) di Israel dan Jerman yang menunjukkan bahwa organisasi-organisasi di luar ranah pendidikan punya kapasitas untuk menyediakan layanan yang tidak dapat diinisiasi sekolah maupun pemerintah karena keterbatasan sumber daya mereka, semisal untuk menyelenggarakan pelatihan tertentu. Sektor privat – para aktor non pemerintah (Belfield dan Levin 2002) – memiliki sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan melalui kemitraan (Barrera-Osorio, Guaqueta, dan Patrinos 2012; Robertson dkk. 2012). Pelibatan pihak-pihak eksternal selaku mitra pembangunan dianggap sejalan dengan prinsip demokrasi partisipatoris yang menekankan keterlibatan berbagai pihak dalam implementasi kebijakan (Gali dan Schechter 2021) Dalam konteks implementasi kebijakan pendidikan, penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi diferensiasi peran mitra pembangunan. Hal ini merupakan langkah awal dalam menentukan mitra pembangunan yang dapat dilibatkan untuk melakukan intervensi pendidikan dan peran yang dapat mereka emban. Walau begitu,  kita tidak boleh melupakan bahwa kehadiran mereka tidak selamanya berkontribusi terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

Peran pertama yang dapat dilakukan para aktor non pemerintah selaku mitra pembangunan adalah menyediakan layanan pendidikan dan perangkat penunjang penyelenggaraan pendidikan. Terlibatnya aktor-aktor non pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan telah menjadi fenomena umum dan dikenal sebagai penyediaan privat atau private provisioning (Belfield dan Levin 2002). Organisasi non pemerintah (ornop), kelompok keagamaan, pengusaha, hingga aktor-aktor lain berperan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan, misalnya melalui pendirian dan pengelolaan sekolah hingga pengadaan perangkat pendukung pembelajaran berupa buku, bahan ajar, platform pembelajaran digital, dan sebagainya (UNESCO 2021). Hal tersebut dapat mendukung implementasi kebijakan mengenai penyediaan layanan pendidikan maupun pengadaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran.

Peran kedua yang dapat dilakukan mitra pembangunan adalah pembiayaan pendidikan. Dukungan pembiayaan dapat dimaksudkan untuk membantu kelompok ekonomi rentan dalam memenuhi wajib belajar, tapi juga dapat ditujukan untuk mendukung implementasi kebijakan mengenai sarana dan prasarana pendidikan. Dukungan finansial dapat diberikan oleh korporasi besar, individu perorangan, maupun ornop. Laporan UNESCO (2021) mencontohkan bagaimana sejumlah korporasi di beberapa negara mendonorkan dana untuk mendukung pendidikan. Misalnya, di India, terdapat peraturan yang mewajibkan korporasi untuk mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk kegiatan amal sebagai bentuk tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR), di mana pendidikan menjadi sektor penerima dana CSR terbesar. Kemudian, DeStefano dan Moore (2010) mencontohkan sejumlah ornop yang mendukung kebutuhan finansial program-program sekolah swasta di Afganistan, Bangladesh, Ghana, Haiti, dan Mali. 

Penyediaan layanan pendidikan maupun pemberian dukungan finansial yang telah dibahas sebelumnya sangat mungkin terkait atau menyatu dengan peranan ketiga, yakni memberi pengaruh. Yang dimaksud dengan memberi pengaruh ialah upaya membentuk cara pandang dan perilaku para pemangku kepentingan agar mendukung atau menolak suatu agenda maupun program pendidikan tertentu (UNESCO 2021). Untuk itulah, mitra pembangunan melakukan advokasi kebijakan, melakukan riset dan mendiseminasikan hasilnya, memberi dukungan finansial hingga mengadakan pelatihan atau pengembangan kapasitas. Kiprah ActionAid menjadi suatu contoh tentang bagaimana suatu aktor mengalami transformasi peran dari penyedia pendidikan melalui dukungan dana dan pendirian sekolah menjadi pemberi pengaruh lewat kegiatan advokasi guna menghasilkan dampak yang lebih berkelanjutan (lih. Ron-Balsera and Marphatia 2012: 230-2). Sementara itu, Verger, Fontdevilla, dan Zancajo (2016) mencontohkan bahwa di Amerika Serikat, para filantropis mendanai beberapa sekolah untuk menghasilkan praktik-praktik baik guna meyakinkan publik tentang perlunya privatisasi pendidikan. Kemudian, contoh dari upaya untuk memberi pengaruh melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) dapat dilihat dari kasus di Yordania dan Afrika Selatan. Pemerintah di kedua negara itu melibatkan Microsoft dalam bidang pendidikan untuk mengembangkan literasi digital masyarakat (Bhanji 2012). Keterbatasan kedua pemerintah untuk mendesain program pengembangan literasi digital menjadikan Microsoft sebagai pemeran penting dalam merancang kurikulum dan pelatihan guru terkait pemanfaatan teknologi di sekolah-sekolah. Menurut Bhanji (2012), program tersebut merupakan sarana bagi Microsoft dalam memberi pengaruh agar ada lebih banyak pihak yang menggunakan produk-produk komersialnya. Kebetulan, motif bisnis tersebut cocok dengan agenda kedua pemerintah terkait pengembangan literasi digital. 

Mitra pembangunan dapat memainkan lebih dari satu peran yang dibahas sebelumnya, di mana setiap peran dapat berjalan terpisah, tapi bisa juga saling berkaitan. Putera Sampoerna Foundation (PSF) merupakan contoh ornop di Indonesia yang memberikan dukungan finansial bagi para peserta didik yang kurang mampu melalui beasiswa (Lumbanraja 2009), sekaligus berpengaruh dalam pengembangan kemampuan profesional guru dengan cara menginisiasi berbagai pusat belajar guru di sejumlah daerah (Lim, Juliana, dan Liang 2020). Di Indonesia, ornop sebagai mitra pembangunan juga dapat memobilisasi dukungan terhadap suatu kebijakan pendidikan nasional dan karenanya, dapat dilibatkan dalam proses implementasi kebijakan, khususnya di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau (Gunawan 2019). Sehubungan dengan itu, ornop di Indonesia dapat dilibatkan untuk memfasilitasi guru atau kepala sekolah agar dapat memahami potensi manfaat dari suatu kebijakan dan mau mengimplementasikannya secara efektif. 

Mitra pembangunan bukan hanya dapat mendukung implementasi suatu kebijakan melalui rangkaian peran yang dimainkannya, melainkan juga dapat menghambatnya. Setidaknya terdapat dua hal yang bisa melatari terhambatnya implementasi kebijakan. Pertama, tidak semua mitra pembangunan memiliki kepentingan yang selaras dengan kebijakan pendidikan yang hendak diterapkan. Mitra pembangunan tidaklah seragam dan mempunyai variasi kepentingan maupun ideologi (UNESCO 2021). Mereka dapat menggunakan pengaruhnya untuk memobilisasi publik guna menolak suatu kebijakan pendidikan yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Kedua, mitra pembangunan sangat mungkin menggunakan strategi intervensi yang tidak sesuai dengan tatanan budaya di sekolah dan komunitas lokal sekitarnya. Ketidakcocokan ini dapat menimbulkan resistensi dari pihak sekolah atau komunitas sekitarnya terhadap kehadiran mitra pembangunan yang bermaksud membantu implementasi sebuah kebijakan. Oleh karena itu, mitra pembangunan yang dilibatkan dalam memfasilitasi implementasi kebijakan perlu memahami dan beradaptasi dengan keunikan struktur sosial dan kebudayaan yang menjadi konteks dari sekolah dan komunitas sekitarnya (McLaughin dan Talbert 2006; Oplatka 2019).

Stephen Pratama merupakan Project Lead dari Lingkar Studi Kebijakan Pendidikan (Lingkar Studi) PSPK. Adapun minat akademisnya meliputi teori sosiologi, pendidikan dan ketimpangan, politik pengetahuan, ekonomi politik transformasi pendidikan, dan politik kesejahteraan guru. Ia percaya bahwa pendidikan dengan segala visi misinya perlu dilandasi oleh pendekatan saintifik. Oleh karena itu, Ia mendukung kebijakan pendidikan yang berpihak kepada anak dan berbasiskan kaidah-kaidah ilmiah. Media sosial: Instagram @stpstephen