Pengembangan Nilai dan Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini

Oleh Najelaa Shihab dan Nisa Felicia

Kesejahteraan (well-being) individu maupun kolektif semakin sentral posisinya dalam pembangunan. Barrett Academy for the Advancement of Human Values mengembangkan kerangka asesmen yang digunakan untuk menilai dukungan negara terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pada tahun 2020, Global Well-being Indicators tersebut memperlihatkan posisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain dalam G20 dan juga dunia. Pada beberapa hal Indonesia perlu memperbaiki kondisinya, misalnya perlunya peningkatan pelayanan kesehatan, upaya pelestarian lingkungan, serta pencegahan dan penanggulangan korupsi. Kondisi-kondisi ini dibutuhkan sebagai enabling conditions atau kondisi mendasar yang memungkinkan bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan mencapai kesejahteraan diri mereka. Indikator kesejahteraan di tingkat global tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati rangking pertama di antara negara-negara G20 dan  urutan 6 dalam tingkat dunia dalam hal kekuatan modal sosial (social capital) sebagai pendukung kesejahteraan. Gotong royong sebagai salah satu ciri khas bangsa Indonesia nampaknya menjadi aset penting dalam pengembangan kesejahteraan individu.

Modal sosial juga merupakan bagian dari filosofi pendidikan Indonesia telah lama ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara (KHD), bahwa pendidikan merupakan upaya yang sinergis antara lembaga sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiganya adalah lingkungan hidup anak yang perlu memberikan stimulus secara berkesinambungan dan bersinergi untuk perkembangan nilai-nilai moral dan kesejahteraan diri mereka. Sebagai contoh, ketika anak belajar tentang nilai-nilai toleransi, konsistensi dan keselarasan antara konsep tentang keberagaman dan toleransi yang mereka pelajari di sekolah dan di rumah menjadi sangat penting. Begitu pula dengan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, sejak sangat lama KHD menekankan pentingnya kolaborasi antara rumah dan sekolah untuk mendukung perkembangan nilai-nilai dan kesejahteraan anak. Karenanya, sangat penting pula bagi kita untuk berhenti menyederhanakan upaya pendidikan sebagai kegiatan persekolahan, apalagi mereduksi makna perubahan pendidikan sebagai perubahan kebijakan atau pencapaian indikator-indikator akademik di atas kertas. 

Salah satu syarat penting terjadinya gotong royong di antara orang-orang dewasa (guru, orang tua, serta pihak lainnya) yang mempengaruhi pendidikan serta tumbuh kembang anak adalah kesepakatan cita-cita, terutama dalam bentuk kesamaan tujuan. Sayangnya, bahkan di aspek ini pun, ekosistem pendidikan kita masih menyuburkan miskonsepsi yang terus diturunkan. Padahal klarifikasi aspirasi selalu jadi esensi. Pakar psikologi pendidikan dan pendidikan karakter, Alfie Kohn (1997) menekankan pentingnya menyepakati nilai-nilai karakter serta keterampilan sosial-emosional apa yang mau dikembangkan. Pertanyaan ini, menurut Kohn, tampak klise karena seolah-olah sudah jelas jawabannya bagi seluruh pihak atau orang dewasa. Padahal ketidakjelasan dari konsep setiap nilai yang diajarkan adalah salah satu tantangan signifikan untuk mencapai pengembangan nilai dan penguatan karakter yang optimal. Salah satunya adalah pembelajaran tentang hormat-menghormati. 

Seringkali pendidik berasumsi bahwa menghormati (respect) adalah sebuah konsep yang self explanatory, semua orang tahu, sehingga tidak perlu dijelaskan lagi. Namun demikian, seperti apa hormat tersebut perlu diwujudkan, dua guru dapat memiliki jawaban yang berbeda. Bagi sebagian pendidik (guru ataupun orang tua), hormat pada orang tua atau guru bisa jadi dimaknai sebagai sikap yang tunduk, tidak dialogis, tidak mengkritik atau mempertanyakan apa yang disampaikan/diajarkan, serta tidak memberikan umpan balik yang dianggap dapat menyinggung guru. Apakah demikian kemampuan menghormati yang ingin diajarkan pada generasi penerus bangsa, khususnya mereka yang hidup dalam dunia yang semakin kompleks dan membutuhkan kemampuan bernalar kritis? Being respectful adalah kemampuan yang penting, tetapi bagaimana pihak sekolah dan rumah mengelola pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana mereka dalam melakukan konseptualisasi hormat dan juga nilai-nilai karakter lainnya. Ketidakselarasan antara sekolah dan rumah dalam mengajarkan suatu nilai merupakan salah satu penjelasan tentang sulitnya membangun nilai karakter dan kesejahteraan anak secara efektif.

Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan Indonesia perlu dikembangkan kesepakatan bersama, bukan hanya tentang nilai-nilai apa yang diajarkan, tetapi juga makna dari nilai-nilai tersebut yang dapat dioperasikan oleh pendidik baik di sekolah, di rumah, dan juga di dalam ruang-ruang publik atau masyarakat. Nilai-nilai yang ingin dicapai telah terintegrasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 di mana pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Bagaimana berakhlak mulia, mandiri, serta karakter lainnya dimaknai oleh guru dan orang tua adalah kunci pertama yang sangat penting.

Dalam konteks tujuan, ada aspek lain yang sebetulnya salah kaprah, tapi terus kita praktikkan secara nyata. Pemaknaan pencapaian nilai-nilai pendidikan (ataupun aspek lain dalam kompetensi) sebagai kesuksesan individual. Kita seolah sedang berkata; penumbuhan nilai hanya “penting” atau “memungkinkan” untuk terwujud bagi anak-anak tertentu, yang tumbuh berkarakter karena adanya faktor pendukung tertentu. Frasa bahwa nilai ditumbuhkan dengan keteladanan telah kita ucapkan dan percaya selama tahunan. Orang tua yang memberi contoh atau guru yang menjadi role model terbukti menguatkan nilai-nilai pada anak sejak dini. Masalahnya, satu orang tua dan satu guru tak pernah punya kekuatan pengaruh yang signifikan. Terlebih lagi apabila kita bicara soal penguatan nilai-nilai bangsa. Jika kita sepakat bahwa kesuksesan pendidikan seharusnya menjadi kesuksesan kolektif, maka pendidikan karakter bukan hanya untuk anak-anak dengan kesempatan dan keadaan yang beruntung terlahir atau bersekolah di mana, tetapi untuk setiap dan semua anak Indonesia. Maka saat itu juga kita perlu menegaskan perlunya teladan kolektif bahkan sistematis. Butuh banyak orang tua; keluarga besar, tetangga, semua yang ada di komunitas sekolah, yang jelas juga bukan hanya guru (apalagi hanya guru mata pelajaran Pancasila dan Pendidikan Agama, tetapi semua mata pelajaran di sekolah), bahkan jurnalis media dan orang dewasa di berbagai profesi perlu menjadi teladan harian bagi anak-anak kita. “Semua murid semua guru” merupakan prinsip yang bukan hanya menggambarkan pentingnya semua pemangku kepentingan mengambil peran, tetapi juga menghilangkan delusi bahwa kita bisa “menyelamatkan anak kita sendiri” tanpa peduli bahwa pengasuhan adalah urusan bersama dan pendidikan adalah tanggung jawab lintas sektor dan generasi. Tanpa memberikan kesempatan pendidikan karakter berkualitas dan komprehensif secara terbuka untuk semua anak Indonesia, upaya penumbuhan nilai dalam bentuk kurikulum atau regulasi apapun, hanya akan memperbesar kesenjangan kesempatan dan capaian. Kebangkitan generasi Indonesia dengan nilai-nilai karakter yang kuat pun akan semakin jauh dari harapan. 

Yang lebih menantang lagi dalam pengalaman penulis sebagai pendidik dan bergiat bersama pemangku kepentingan adalah menyepakati cara yang akan digunakan. Salah satu yang terus menguat di pendidikan kita berkait dengan penumbuhan nilai – adalah fokus berlebihan pada konteks mikro dan perilaku interpersonal. Karenanya tak heran, untuk sebagian murid dan orangtua serta pendidik, diskusi tentang kejujuran diajarkan dan dicontohkan semata sebagai “tidak mencuri uang orang lain”. Maka tidak heran, banyak yang memang tidak mungkin mengambil uang dari pemilik warung di jalanan, tetapi dengan mudah menghalalkan korupsi karena “bukan uang yang siapa-siapa” dan dalam pikirannya tidak ada pihak yang langsung dirugikan. Banyak yang malu membuang sampah sembarangan di lapangan sekolah, bahkan memilahnya demi kebaikan lingkungan, tetapi tidak mempermasalahkan kegiatan pengajian atau lomba 17-an yang menggunakan plastik dan makanan kemasan dalam jumlah besar. Pemahaman sistem, diskusi tentang dampak nilai-nilai yang dianut serta perilaku individual terhadap konteks makro dan lingkungan yang berkelanjutan, tanggung jawab diri dalam konteks kewarganegaraan serta kewargaduniaan, secara sistematis luput dari pengajaran. Sebagian alasannya karena menganggap kompetensi tersebut jauh dari kapasitas kognitif anak-anak. 

Anak dan remaja, apalagi anak usia dini buru-buru dianggap oleh pendidik belum cukup bisa memahami konteks yang lebih besar daripada apa yang terlihat di sekelilung mereka, sehingga tak perlu paparan terhadap isu-isu kontemporer dan global. Padahal ini jelas estimasi yang terlalu rendah pada kemampuan anak untuk berdaya, tak pula didukung oleh teori tahap perkembangan yang menunjukkan bahwa kemampuan analisa dan penekanan konsep bisa diterapkan sejak dini. Tak perlu menunggu anak di perguruan tinggi untuk kemudian mengenalkan dan membedah (secara bertahap) apa nilai keindonesiaan yang penting dimiliki. Penyebab lain terjadinya pembiaran dalam praktik nilai berkait dengan proses pengajaran yang selalu berfokus pada konsekuensi, bukan intensi. Perundungan misalnya, tak bisa diterima bukan hanya karena ada dampak pada korbannya, tetapi karena tidak sejalan dengan tujuan komunitas sekolah yang menekankan pentingnya saling peduli serta suasana belajar yang aman untuk semuanya. 

Praktik belajar-mengajar kita masih sangat minim contoh praktik baik dengan lebih mempraktikkan penekanan pada “the why” dibandingkan “the how”-nya. Bukan cuma pada pendidikan bagi muridnya, bahkan pada pengembangan profesi gurunya. Reward dan hukuman, instruksi dan aturan, masih menjadi “senjata” utama perubahan perilaku kita di saat semua hasil riset tentang penumbuhan nilai dan budaya (di berbagai sektor dan reformasi lainnya) menunjukkan bahwa kesadaran serta kesepakatan adalah metode utama yang secara signifikan lebih efektif. Tak heran pula, masyarakat kita seringkali menjadi “terlalu pemaaf” dalam membiarkan individu punya banyak wajah dalam peran yang berbeda. Perilaku yang diterima dalam konteks sebagai suami atau ayah berbeda dengan apa yang dianggap wajar dalam peran sebagai politisi atau pejabat. Anak tumbuh bukan dengan core values yang harus menjadi prinsip penting di berbagai situasi, tetapi dengan contoh berbagai kompromi. Hasilnya? Anak menjadi tak kuat komitmennya untuk terus berintegritas ketika harus melawan tekanan kelompok atau memandang keberagamaan. Sila pertama di Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” masih dilihat sebagai bagian yang terpisah dari sila keduanya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.

Pembelajaran tentang Agama yang kerap kali menjadi tumpuan harapan pendidikan nilai pun perlu berubah. Penekanan pada akhlak dan fikih sosial, hubungan dengan sesama, dan dampak dari ibadah yang selalu berfokus pada maslahah amat sangat langka kita lakukan untuk penumbuhan nilai anak-anak kita. Contoh yang kita lihat misalnya, begitu banyak murid yang “pandai” menghitung pecahan warisan sebagai bagian dari topik dalam Pendidikan Agama Islam (termasuk soal “setengah” bagian perempuan), tetapi tidak memperbincangkan nilai mulia sejak kehadiran Rasulullah SAW tentang kesetaraan perempuan, tujuan rahmah dalam monogami di pernikahan, atau bahkan berbagai pandangan Islam tentang alasan menggugurkan kandungan. 

Anak-anak kita tumbuh tanpa latihan dan persiapan untuk menghadapi dilema moral dan kompleksitas permasalahan masyarakat yang ada di masa kini dan masa depan. Pembelajaran di rumah, di sekolah, dan di mana saja yang makin berpusat pada murid dengan paradigma yang positif dan proses yang aktif serta makin kolaboratif menjadi kunci untuk mendorong pengembangan nilai dan pendidikan karakter sepanjang hayat. Seluruh pendidikan untuk mengembangkan nilai dan membentuk karakter yang disampaikan pada artikel ini dapat dilakukan bahkan sejak pendidikan anak usia dini. Artikel ini tidak menjelaskan metode-metode yang sesuai untuk setiap tahap perkembangan, namun satu hal yang menjadi penekanan  adalah pentingnya pemahaman konsep secara utuh dan menyeluruh tentang nilai-nilai yang diajarkan. 

Mari terus melakukan refleksi terhadap kondisi diri setiap anak, situasi yang dihadapinya, serta guru maupun orang tuanya di konteks yang beragam. Mari melihat kelebihan maupun keterbatasan ekosistem kita, serta tuntutan perkembangan dunia  yang kita hadapi agar semua praktik kita sesuai dengan perubahan yang terjadi. Mari memenuhi janji pendidikan untuk menjadi jembatan masa depan, memastikan akses berkualitas – pertama dan terutama dalam menumbuhkan nilai dan pencapaian karakter utuh, yang merupakan hak dasar semua dan setiap anak.