PPDB DKI: Daya Tampung SMA Negeri, Bukan Kriteria Seleksi
Oleh Nisa Felicia, Direktur Eksekutif PSPK
Dari tahun ke tahun, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) senantiasa menimbulkan polemik. Tahun lalu, protes terjadi saat kebijakan baru PPDB DKI Jakarta mulai diimplementasi, di mana prestasi akademik tidak lagi menjadi kriteria dominan dan untuk pertama kalinya. Di sisi lain, domisili dan umur calon peserta didik baru (CPDB) menjadi kriteria seleksi Jalur Zonasi.
PPDB DKI Tahun Ajaran 2021-2022 ini juga masih menimbulkan respon-respon negatif, di mana penggunaan umur sebagai kriteria seleksi Jalur Zonasi kembali dikritik karena dianggap melanggar hak anak yang usianya relatif muda untuk mendapatkan pendidikan. Seleksi Jalur Prestasi juga menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang karena sudah tidak adanya lagi Ujian Nasional yang biasa menjadi standar penilaian prestasi CPDB.
Setiap tahun kriteria seleksi selalu menjadi tema utama PPDB. Namun, sebenarnya ada yang lebih penting untuk dipertanyakan: Mengapa harus ada seleksi yang ketat?
Masalah tahunan tentang PPDB ini bermula akibat belum tuntasnya upaya pemerintah untuk memenuhi layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh warga DKI Jakarta, meskipun komitmen Wajib Belajar 12 Tahun sudah dicanangkan. Hasil PPDB T.A. 2020-2021 yang lalu menunjukkan bahwa daya tampung SMP Negeri di DKI Jakarta hanya sekitar 47,33 persen, dan angka ini hanya sekitar 33 persen untuk akses ke SMA dan SMA Negeri. Dengan rendahnya daya tampung ini, jelas perlu ada metode seleksi karena persaingannya yang sangat ketat.
Kebijakan PPDB hingga saat ini terfokus pada mengatur siapa yang memiliki peluang lebih besar untuk dapat masuk sekolah negeri, tetapi belum benar-benar menyelesaikan masalah kecilnya peluang masuk SMA Negeri di DKI Jakarta.
Kebijakan PPDB yang diimplementasi sejak T.A. 2020-2021 mengatur empat jalur penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri di Jakarta. Jalur Afirmasi membuka peluang lebih besar untuk anak-anak dari kelompok sosial ekonomi status (SES) rendah, yang biasanya sangat kecil kemungkinannya untuk dapat bersekolah di SMA Negeri atau bahkan tidak melanjutkan ke jenjang SMA sama sekali.
Jalur Prestasi dirancang untuk mengapresiasi siswa berprestasi baik secara akademik maupun non akademik, di mana mereka dapat memilih SMA Negeri yang dituju meskipun jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Selain ditujukan untuk mendekatkan siswa dengan sekolah, Jalur Zonasi juga dimaksudkan untuk membuka peluang secara random (acak) sehingga tidak bias SES; itulah mengapa kriteria yang digunakan adalah jarak antara domisili CPDB dengan sekolah yang dituju dan usia CPDB.
Terakhir adalah Jalur Pindah Tugas Orangtua dan Anak Guru yang menggunakan kriteria yang sesuai dengan namanya. Adanya empat jalur dalam PPDB (Jalur Prestasi, Jalur Zonasi, Jalur Afirmasi, dan Jalur Pindah Tugas Orangtua dan Anak Guru) membuat prestasi akademik tidak lagi menjadi satu-satunya kriteria karena di setiap jalur ada kriteria-kriteria seleksi yang berbeda.
Kebijakan PPDB DKI tersebut “mengacak” pola yang sudah terjadi bertahun-tahun tentang siapa (siswa dari SES yang mana) yang masuk sekolah negeri dan siapa yang masuk ke swasta. Pola ini terbentuk melalui sistem meritokrasi dalam seleksi masuk sekolah negeri yang telah diterapkan begitu lama di Indonesia. Tradisi ini membuat masyarakat beranggapan bahwa adil-adil saja jika yang dapat mengakses sekolah negeri adalah mereka yang berprestasi akademik tinggi.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang berprestasi akademik tinggi pada umumnya adalah anak-anak dari keluarga dengan status ekonomi sosial (SES) menengah dan atas.
Mereka lebih berdaya untuk menggunakan berbagai strategi seperti mengikuti bimbingan belajar, les privat, membeli buku-buku serta sumber belajar tambahan lainnya, termasuk mendapatkan layanan perkembangan ketika usia pra-sekolah dan pendidikan dasar yang kualitasnya lebih baik daripada anak-anak dari keluarga SES rendah. Singkatnya, mereka memiliki peluang lebih besar untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi dibandingkan teman-temannya dari kelompok SES yang lebih rendah.
Kesempatan anak-anak dari SES rendah untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau akan selalu lebih kecil apabila seleksi masuk sekolah menggunakan kriteria prestasi akademik atau sistem meritokrasi secara penuh. Sistem ini memperparah kesenjangan kesempatan pendidikan, di mana pemerintah mensubsidi warga yang sejahtera yang masuk ke sekolah negeri, sementara warga kelas bawah harus mengeluarkan biaya sekolah (uang pangkal dan SPP) untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah swasta.
Kesadaran ini mendorong DKI untuk mengubah aturan main tersebut mulai Tahun Ajaran 2020-2021, di mana empat jalur yang dibuka diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang sebelumnya sulit mengakses sekolah negeri. Namun demikian, strategi penetapan kriteria ini sayangnya tidak dapat menjawab masalah yang lebih mendasar yang telah disampaikan di awal, yaitu tentang kekurangan daya tampung sekolah negeri yang memaksa mekanisme seleksi perlu dilakukan.
Sebelum kehebohan PPDB terjadi, barangkali pemerintah dan publik belum sepenuhnya menyadari dampak dari masalah daya tampung ini. Mungkin karena masyarakat merasa tidak ada yang perlu diperdebatkan akibat tradisi sistem meritokrasi yang dianggap wajar, atau mungkin juga karena masalah ini tidak menjadi mendesak karena data statistik menunjukkan bahwa setiap tahun angka partisipasi sekolah senantiasa meningkat. Padahal, pada kenyataannya, tingginya angka tersebut tidak mencerminkan ketersediaan sekolah negeri yang murah dan terkendali kualitasnya, untuk seluruh warga.
Angka Partisipasi Murni (APM) SMA di DKI Jakarta pada tahun 2019 adalah 74,77 persen, yang artinya dari 100 remaja usia SMA, sebanyak 75 diantaranya terdaftar sebagai siswa SMA. Angka ini lebih tinggi daripada APM nasional yang berada di kisaran 60 persen. Namun demikian, mayoritas (sekitar 67 persen) lulusan SMP di DKI harus bersekolah di SMA atau SMK swasta apabila mereka meneruskan pendidikan ke jenjang tersebut. Proporsi ini mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat memutuskan untuk masuk SMA swasta di DKI Jakarta bukan karena pilihan sejak awal, tetapi terpaksa karena mereka tidak dapat mengakses sekolah negeri.
Daya tampung SMA Negeri yang sangat terbatas dan empat jalur dalam sistem PPDB tidak dapat menjawab masalah kurangnya bangku yang tersedia untuk lulusan SMP di DKI Jakarta. Bagaimanapun kriteria dan metode seleksi diatur, daya tampung SMA Negeri tidak berubah. Perbedaannya hanya terletak pada siapa yang mendapat peluang lebih besar untuk masuk. Yang dibutuhkan DKI adalah meningkatkan daya tampung, karena pemerintah berkomitmen untuk memenuhi hak pendidikan semua warga, bukan hanya yang pintar, bukan hanya yang miskin, atau bukan hanya yang berdomisili dekat dengan sekolah.
Dikarenakan angka 33 persen tersebut terlalu kecil, maka tidak cukup untuk pemerintah DKI Jakarta hanya berupaya mengubah kriteria seleksi untuk setiap jalur PPDB. Perdebatan tentang kriteria yang pantas untuk mengakses sekolah negeri muncul dalam dua tahun terakhir di Jakarta, sementara masalah kekurangan daya tampung sebenarnya adalah masalah yang sudah bertahun-tahun terjadi. Pemerintah DKI Jakarta perlu mengatasinya segera.
Pilihan Kebijakan Untuk Meningkatkan Daya Tampung Pendidikan Menengah
Menambah ruang kelas, rombongan belajar (rombel), atau bangku di setiap kelas dalam SMA Negeri yang ada adalah beberapa pilihan kebijakan untuk meningkatkan daya tampung. Namun demikian, kebijakan ini sulit untuk diimplementasikan.
Pertama, dari segi lahan, menambah ruang kelas bukanlah opsi yang mudah dilakukan di kota yang relatif padat seperti DKI Jakarta. Kedua, saat ini tingkat kepadatan siswa di SMA-SMA Negeri di Jakarta sudah cukup tinggi. Menambah rombel ataupun bangku dalam kelas-kelas di SMA Negeri adalah pilihan yang dapat berdampak negatif pada proses pembelajaran akibat rasio guru dan siswa yang semakin tinggi.
Apabila jumlah siswa dalam satu kelas terlalu tinggi, guru tidak dapat memberikan perhatian yang optimal pada kebutuhan belajar setiap individu. Hal ini dapat berdampak buruk bagi kualitas hasil belajar. Atas pertimbangan tersebut, maka menambah kepadatan siswa di SMA Negeri yang sudah ada bukanlah opsi yang layak dipilih.
Opsi lain adalah menambah jumlah SMA Negeri di DKI. Saat ini SMA Negeri tidak tersedia di 164 kelurahan di DKI Jakarta, sehingga menambah jumlah SMA Negeri menjadi opsi yang layak dipertimbangkan. Namun demikian, kebijakan ini perlu memperhatikan peta kebutuhan SMA di Jakarta dan ruang yang tersedia untuk membangun sekolah. Ada kemungkinan lahan yang dapat digunakan untuk membangun sekolah berada di kawasan industri, di mana kebutuhan SMA di wilayah tersebut sebenarnya rendah. Sementara di wilayah dengan kebutuhan SMA yang tinggi, yaitu daerah yang padat penduduknya, tidak ada lahan yang dapat digunakan pemerintah untuk mendirikan sekolah. Dengan demikian, opsi ini kemungkinan tidak dapat menyelesaikan masalah dalam jangka waktu dekat.
Ada opsi ketiga yang sesuai untuk konteks DKI Jakarta, yaitu melibatkan SMA swasta dalam sistem PPDB DKI Jakarta. Dengan kata lain, daya tampung SMA dalam sistem PPDB ditambah dengan memasukkan sejumlah bangku di sekolah swasta. Peran pemerintah yang paling utama dan mendesak adalah memenuhi hak pendidikan warga DKI untuk dapat mengakses SMA yang: 1) berkualitas baik dan 2) terjangkau, terlepas dari jenis sekolahnya negeri atau swasta. Pelibatan sekolah swasta seperti ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB. Dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa pemerintah daerah dapat melibatkan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah swasta) dalam pelaksanaan PPDB.
Pelibatan sekolah swasta tidak serta merta terbuka untuk semua sekolah swasta yang ada. Mengingat rentang kualitas sekolah swasta sangat lebar, maka SMA swasta yang dilibatkan dalam PPDB perlu dipilih, yaitu sekolah-sekolah dengan kualitas layanan sebanding dengan SMA Negeri di DKI Jakarta. Dengan demikian, CPDB yang diterima di SMA swasta memiliki kesempatan belajar dengan kualitas yang sama baiknya dengan teman-temannya di SMA Negeri.
Bagi CPDB yang diterima di SMA swasta tersebut, pemerintah perlu memberikan subsidi uang pangkal dan iuran bulanan (SPP atau Sumbangan Pembinaan Sekolah) selama 3 tahun bersekolah di jenjang tersebut, agar hak mereka terpenuhi secara setara dengan teman-temannya yang bersekolah di SMA Negeri.
Jika pemerintah dapat mengeluarkan biaya subsidi untuk anak-anak yang masuk ke SMA swasta, mengapa tidak menggunakan anggaran tersebut untuk membangun sekolah negeri saja? Selain tantangan ketersediaan lahan terutama di pemukiman padat sebagaimana yang dijelaskan sebagai opsi kedua di atas, ada pertimbangan lain mengapa PPDB bersama sekolah swasta ini perlu diinisiasi.
Seperti di banyak negara berkembang lainnya, sekolah swasta terutama yang berbiaya rendah (low-fee private school) sangat berperan dalam mewujudkan komitmen Wajib Belajar dengan menyediakan layanan pendidikan kepada masyarakat luas, termasuk untuk anak-anak dari keluarga miskin.
Saat ini, sekolah swasta sudah melayani banyak warga DKI Jakarta. Data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa pada Tahun Ajaran 2019-2020, sekitar 75 persen SMA di DKI Jakarta adalah sekolah swasta, dan SMA swasta ini menampung sekitar 47 persen siswa SMA di kota tersebut. Tingginya proporsi tersebut kembali menunjukkan peran penting sekolah swasta dalam penyediaan layanan pendidikan.
Kajian yang dilakukan CIPS (2016) menunjukkan bahwa sekolah swasta berbiaya rendah yang berlokasi di wilayah-wilayah padat penduduk menjadi pilihan keluarga kelas menengah dan bawah terutama ketika sekolah negeri jauh dari lingkungan tempat tinggal. Tingginya proporsi sekolah swasta yang ada saat ini, serta peran sekolah swasta sejak inisiatif universal education (pembukaan akses pendidikan untuk semua anak) dicanangkan sejak tahun 1970an, tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah perlu berkolaborasi dengan sekolah swasta untuk terus meningkatkan kualitas layanan pendidikan yang disediakan.
Peran pendidikan swasta di negara berkembang, terutama sekolah swasta berbiaya rendah, tidak dapat disamakan dengan keberadaan sekolah swasta di negara maju, sehingga dukungan terhadap sekolah swasta serta dukungan afirmatif untuk siswa sekolah swasta tidak dapat dicap negatif sebagai privatisasi sistem pendidikan.
Sebaliknya, kolaborasi ini dapat menjadi bentuk kebijakan yang berpihak pada anak, pada pemenuhan hak dasar mereka. Peran serta masyarakat dalam membuka akses pendidikan melalui sekolah swasta sudah menjadi bagian dari sejarah pendidikan Indonesia, dan peran tersebut perlu didukung pemerintah. Masyarakat adalah mitra kolaborasi, bukan pesaing dalam menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi seluruh anak.
PPDB Hanyalah Gerbang Menuju Pemerataan Kesempatan Pendidikan
PPDB hanyalah pintu gerbang untuk kesempatan pendidikan yang berkeadilan. Satu kebijakan ini saja tidak cukup untuk membuat semua anak di DKI Jakarta, apalagi di Indonesia, untuk memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil mencapai kesuksesan akademik.
PPDB hanya membuka jalan yang lebih luas untuk anak-anak dari berbagai latar belakang SES agar mereka dapat belajar di sekolah yang kualitasnya terjaga dan harganya terjangkau. PPDB hanyalah bentuk afirmasi dari sisi input.
Setelah peserta didik diterima dan masuk ke kelas, perlu ada kebijakan-kebijakan lain terkait proses pendidikan yang secara konsisten menghilangkan atau setidaknya meminimalisir hambatan-hambatan belajar yang dialami anak-anak dari kelas sosial tertentu. Termasuk dalam hambatan ini adalah kebijakan-kebijakan yang secara implisit mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.
Kesempatan pendidikan yang berkeadilan membutuhkan rangkaian kebijakan dan praktik-praktik pendidikan yang secara konsisten peka dalam merespon keberagaman sosial budaya peserta didik dan kebutuhan belajar mereka. PPDB membuka isu yang lebih mendalam daripada sekadar kriteria yang digunakan untuk masuk ke sekolah negeri.
Kesadaran tentang kurangnya SMA Negeri di DKI Jakarta ini mulai terbuka sebagai dampak dari ramainya pemberitaan tentang kekecewaan CPDB dan orang tua mereka karena peluang untuk masuk SMA Negeri yang telah diincar semakin sulit. Padahal, fakta bahwa DKI Jakarta kekurangan SMA Negeri bukanlah sesuatu yang terjadi pada satu atau dua tahun belakangan. Isu ini sudah terjadi sejak lama, jauh sebelum PPDB dengan Jalur Zonasinya dimulai pada Tahun Ajaran 2018-2019. Ironisnya, ketika seleksi masuk SMA Negeri secara dominan ditentukan oleh prestasi akademik, keluhan atas kurangnya layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau tidak pernah disuarakan dalam berbagai media.
Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan tidak cukup hanya dengan mengutak-atik metode dan kriteria seleksi dalam jalur-jalur PPDB. Peningkatan daya tampung layanan pendidikan publik perlu dilakukan, dan strategi yang dipilih perlu memperhatikan konteks daerah. Untuk DKI Jakarta, melakukan PPDB bersama sekolah swasta adalah opsi kebijakan yang dipilih untuk Tahun Ajaran 2021-2022.