2. Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan dan Berpihak Kepada Anak
Dapatkan Laporan Secara Gratis
Untuk membaca laporan ini, silahkan memasukkan alamat email pada form di bawah ini.
Apa yang dimaksud PSPK dengan kebijakan yang berpihak kepada anak?
Bagi PSPK, anak tidak terbatas pada individu usia kanak-kanak saja tetapi pada dasarnya anak adalah seluruh murid dan mahasiswa. Mereka adalah anak bangsa yang merupakan penerima manfaat utama dari Sistem Pendidikan. Menggunakan kerangka berpikir sosio-ekologi yang diteorikan oleh Bronfenbrenner, PSPK memandang individu utuh sebagai anak, bukan murid, mahasiswa, apalagi peserta didik yang mengesankan peran pasif sebagai peserta saja bukan pihak yang memiliki agensi (kehendak, daya upaya) untuk belajar. Murid atau siswa merupakan predikat yang diberikan kepada individu berdasarkan perannya di sekolah. Selepas jam pelajaran, ketika seseorang sudah keluar dari gerbang sekolah dan berada di luar gerbang sekolah, maka ia sudah tidak menjadi murid, tetapi ia tetap menjadi anak Indonesia.
Perspektif tentang “anak” ini memperluas pandangan PSPK untuk menganalisis isu-isu terkait pembelajaran. Meskipun pembelajaran terjadi dalam kelas, faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran tidak hanya berkaitan dengan apa yang dikelola oleh guru maupun pimpinan sekolah, kurikulum yang ditetapkan Pemerintah, metode yang digunakan guru, serta sarana prasarana sekolah. Faktor pola asuh keluarga, akses terhadap informasi dan teknologi di luar sekolah, serta lingkungan tempat tinggal serta budaya lokal dapat mempengaruhi hasil belajar (Felicia, 2016; Randall, R. et al., 2022). Meskipun kebijakan sektor pendidikan tidak sepenuhnya dapat menjangkau aspek luar sekolah, namun kesadaran akan signifikannya faktor luar sekolah terhadap hasil belajar anak merupakan modal penting dalam formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan.
PSPK sadar bahwa kebijakan tidak dapat memenuhi harapan semua pemangku kepentingan. Kebijakan senantiasa berpihak, di satu sisi memberikan keuntungan bagi satu pihak namun di sisi lain mungkin memberikan dampak yang tidak diinginkan oleh sebagian pihak yang lain. Oleh karena itu kebijakan pendidikan yang diadvokasi oleh PSPK adalah kebijakan yang utamanya berpihak kepada anak. Anak Indonesia yang ada dalam sistem pendidikan nasional saat ini sekitar 66,5 juta orang (Badan Pusat Statistik, 2023b). Mereka hidup dalam kondisi dan konteks yang berbeda-beda. Sebagian lahir dan tumbuh kembang di keluarga dan lingkungan yang lebih sejahtera daripada yang lain.
Bagaimana PSPK memaknai pendidikan yang berkeadilan?
Refleksi atas pengalaman berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan kebijakan, PSPK menemui adanya perbedaan definisi tentang keadilan dalam konteks pendidikan. Sebagian berpendapat bahwa keadilan dalam pendidikan artinya persaingan yang terbuka sepenuhnya. Persaingan ini berbasis pada prestasi, misalnya prestasi akademik sebagai kriteria untuk menentukan siapa yang layak masuk sekolah negeri maupun prestasi sekolah untuk mendapatkan hibah. Berdasarkan paradigma meritokrasi tersebut, kesempatan untuk mengakses pendidikan serta mencapai hasil belajar yang baik bergantung pada upaya individu sepenuhnya tanpa ada intervensi afirmatif atau kebijakan asimetris yang ditujukan untuk mengurangi beban lebih berat yang harus dihadapi anak-anak dari kelompok SES rendah. PSPK, sebagaimana arah kebijakan pendidikan di banyak negara (OECD, 2018) termasuk Indonesia memandang bahwa sistem pendidikan yang berkeadilan bukanlah yang berbasis pada logika pasar bebas tersebut melainkan melalui dukungan kebijakan yang dilandasi pada prinsip keadilan sosial, memberikan ruang untuk adanya dukungan asimetris bagi anak, sekolah, bahkan daerah yang membutuhkan intervensi afirmatif.
Kebijakan pendidikan yang berkeadilan didasari pada prinsip bahwa latar belakang keluarga, jenis kelamin, abilitas, lingkungan tempat tinggal (perdesaan atau perkotaan), agama, etnis, suku, serta kelompok sosial ekonomi budaya lainnya (faktor luar sekolah) bukan alasan yang menjelaskan disparitas akses dan kualitas hasil belajar (OECD, 2018). Berdasarkan prinsip tersebut, sistem pendidikan yang berkeadilan justru dirancang dengan mempertimbangkan kondisi anak yang tidak dapat dikendalikan dirinya tersebut. Misalnya, anak tidak memilih dari keluarga SES mana ia dilahirkan. Namun demikian, ketika ia dilahirkan dari keluarga miskin, sistem pendidikan perlu berupaya untuk menjamin bahwa latar belakang keluarganya tersebut tidak akan menjadi hambatan keberhasilan akademiknya.
Bagaimana status sosial ekonomi berdampak pada kesenjangan kesempatan pendidikan anak?
Dalam penelitian pendidikan, SES keluarga anak umumnya diukur menggunakan indikator pendidikan tertinggi, pekerjaan, dan penghasilan orang tua. Dalam PISA, misalnya, indikator SES diukur melalui
tingkat pendidikan orangtua (dalam satuan tahun), pekerjaan orangtua yang dinilai berdasarkan skala International Socio-Economic Index (ISEI), dan indikator kepemilikan barang-barang rumah tangga (Avvisati, 2020). Indikator-indikator tersebut menjadi penting dalam pendidikan karena SES tidak semata-mata tentang besarnya modal finansial (financial capital), tetapi juga kemampuan orangtua dalam memberikan dukungan melalui modal sosial dan budaya (social capital dan cultural capital) untuk pendidikan anak. Pola asuh, akses ke berbagai sumber belajar, serta kesesuaian antara budaya rumah dengan budaya sekolah adalah contoh-contoh modal sosial dan budaya yang dimiliki keluarga dan berpengaruh terhadap pendidikan.
Seperti halnya di konteks global, di Indonesia pun perbedaan tingkat pendidikan orangtua dapat menjelaskan disparitas perkembangan literasi. Berdasarkan data yang diperoleh melalui asesmen literasi dan numerasi yang dikembangkan oleh PSPK atau dikenal dengan nama PEMANTIK, ditemukan bahwa pendapatan rumah tangga, yang diukur melalui identifikasi pekerjaan orang tua, memiliki dampak yang signifikan terhadap capaian literasi dan numerasi anak (Lampiran 1). Hal ini menandakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi capaian pembelajaran anak adalah pendapatan rumah tangga atau kesejahteraan ekonomi keluarga anak.
Hasil PEMANTIK tersebut memperlihatkan kesenjangan pembelajaran antar individu yang dipengaruhi antara lain oleh latar belakang SES keluarga. Namun demikian di Indonesia SES tidak hanya menjelaskan perbedaan kualitas belajar antar individu anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang berbeda (between-student inequality atau within-school inequality). Ketika sistem seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) hanya menggunakan kriteria prestasi akademik (berbasis merit) misalnya, terjadi segregasi dalam akses pendidikan berdasarkan SES yang menyebabkan kesenjangan kualitas pembelajaran antara sekolah (between-school inequality). Fenomena yang umum di Indonesia tentang kesenjangan antar sekolah ini adalah sekolah-sekolah negeri yang dianggap unggulan, favorit, lebih baik daripada sekolah negeri lainnya. Artinya, layanan yang sama-sama disediakan oleh Negara pun tidak merata kualitasnya.
Kebijakan pendidikan yang berpihak kepada anak bukan saja tentang layanan pendidikan yang berkualitas, tetapi juga upaya untuk menguatkan peran sistem pendidikan untuk membawa hidup setiap individu dan juga seluruh bangsa Indonesia secara kolektif ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, tim PSPK juga menggunakan pertanyaan “apakah anak miskin yang sudah lulus sekolah atau kuliah dapat transisi ke dunia kerja sama baiknya dengan teman-temannya dari keluarga yang lebih sejahtera?” dalam berupaya mencari solusi kebijakan untuk transisi ke dunia kerja yang lebih berkeadilan.
Buku yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak, syarat informasi kondisi ekosistem pendidikan anak di Indonesia, kajian komprehensif hampir dari semua aspek berdasarkan data dan sumber yang valid, terbaru dan bisa diakses. Terimakasih tim author, semoga akselerasi kebijakan2 ‘baik’ area pendidikan di Indonesia terwujud lebih cepat.