Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan

Oleh:

Metodologi Perumusan Rekomendasi Kebijakan

Perumusan rekomendasi kebijakan ini diawali dengan refleksi PSPK berdasarkan satu  pertanyaan besar yang senantiasa memandu berbagai upaya organisasi ini untuk menguatkan kebijakan pendidikan yang berpihak kepada anak. Pertanyaan ini menjadi fokus diskusi setelah menyepakati bahwa kesenjangan kesempatan pendidikan menurut SES adalah masalah yang nyata dan perlu menjadi perhatian utama pembuat kebijakan pada lima tahun mendatang. Pertanyaan tersebut adalah: bagaimana agar seluruh anak-anak Indonesia dapat mengakses pendidikan dengan kualitas yang sama baiknya dan mendapatkan manfaat yang setara dari pendidikan yang mereka tempuh tersebut? Pertanyaan ini mendorong PSPK untuk memikirkan kebijakan yang lebih berkeadilan serta intervensi afirmatif yang perlu dikuatkan.

Menggunakan kerangka berpikir sosio-ekologi yang diteorikan oleh Bronfenbrenner dan pendekatan sistem terbuka atau open system (Ballantine dan Hammack, 2012), PSPK mengeksplorasi isu-isu terkait kesenjangan kesempatan pendidikan dari sisi (1) input, (2) proses, kebijakan, serta struktur sosial di dalam lingkungan sekolah, dan (3) output dari pembelajaran. Kebijakan terkait input yang tidak hanya tentang akses untuk anak tetapi juga input guru serta distribusinya. Kebijakan terkait pembelajaran berkaitan dengan kurikulum, asesmen, serta kemampuan guru untuk menggunakan keduanya dan mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada anak. Sementara itu kebijakan terkait output termasuk transisi lulusan, terutama pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi, ke dunia kerja serta transisi dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi. Dalam mengeksplorasi kebijakan terkait masing-masing komponen tersebut, PSPK selalu menggunakan lensa kesenjangan kesempatan pendidikan yang didasari pada perbedaan SES agar kebijakan yang direkomendasikan fokus pada masalah tersebut serta peka pada kebutuhan intervensi afirmatif untuk anak-anak dari keluarga SES terbawah.

Perspektif open system juga menunjukkan bahwa pembelajaran di dalam kelas dan sekolah tidak lepas dari pengaruh konteks yang lebih makro serta lingkungan, termasuk institusi lainnya terutama keluarga. Menggunakan pendekatan ini, PSPK menjadi lebih peka untuk menyertakan faktor-faktor yang ada di luar sekolah (out-of-school factors) dalam mempertimbangkan kebijakan yang perlu didorong untuk mewujudkan kesempatan pendidikan yang lebih merata untuk semua anak. Benar bahwa transformasi pembelajaran terjadi melalui proses pembelajaran di dalam kelas, dilakukan oleh guru menggunakan kurikulum dan sarana prasarana pembelajaran yang tersedia. Namun demikian, proses pembelajaran tersebut tidak terjadi dalam ruang hampa melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor di luar sekolah, termasuk lingkungan keluarga serta SES mereka. 

Perhatian pada pengaruh faktor sekolah dan luar sekolah juga memberikan ruang yang lebih leluasa bagi PSPK untuk memetakan peran-peran setiap pemangku kepentingan pendidikan. Bagi PSPK, penggiat atau penggerak pendidikan tidak terbatas pada pemerintah dan komunitas atau organisasi yang secara langsung berinteraksi dengan sekolah. Komunitas dan organisasi penggerak pendidikan juga termasuk mereka yang memberikan berbagai layanan dan dukungan di luar sistem pendidikan, misalnya organisasi yang berupaya mendukung perkembangan literasi di luar sekolah agar anak tidak terlalu mengandalkan orang tua mereka untuk menguatkan literasi di luar sekolah. 

Proses perumusan kebijakan ini dilakukan secara iteratif yang secara umum meliputi tiga tahap utama. Pertama, peneliti serta konsultan PSPK melakukan diskusi untuk merumuskan isu-isu utama yang berupa miskonsepsi-miskonsepsi yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan yang berlaku saat ini. Menggunakan kerangka berpikir open system, PSPK menyadari bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan yang berlaku di sekolah dan ruang kelas tidak lepas dari pengaruh dan harapan pemangku kepentingan. Sebagai contoh, kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan salah satu kebijakan yang menimbulkan polemik karena sebagian masyarakat tidak sepakat pada sistem untuk mengakses sekolah negeri tersebut (Felicia et al., 2023). Pada tahap pertama ini PSPK mengeksplorasi disparitas antara ekspektasi publik dengan kebijakan yang ada, berupaya mengidentifikasi argumen-argumen utama yang menyebabkan adanya penolakan maupun kesalahpahaman tentang suatu kebijakan.

Miskonsepsi yang terjadi di kalangan penerima manfaat kebijakan (misalnya guru, Kepala Sekolah, dsb.), pihak yang terdampak (misalnya orangtua), ataupun masyarakat, tidak dianggap oleh PSPK sebagai kekeliruan mereka dalam memahami kebijakan. Tujuan dari identifikasi miskonsepsi ini bukanlah untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut atau menentukan pihak mana yang benar dan salah. Sebaliknya, miskonsepsi tersebut membawa PSPK kepada pertanyaan yang lebih evaluatif dan reflektif terhadap kebijakan yang ada. PSPK berupaya untuk mengidentifikasi apakah kebijakan yang ada masih belum cukup kuat kedudukannya untuk mengatur perilaku pendidik, apakah masih ambigu sehingga sulit dipahami atau mengarah pada kesalahpahaman, apakah perlu didukung oleh kebijakan pendidikan yang lain, atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan pendidikan lainnya.

Tahap kedua yang dilakukan adalah merumuskan arah kebijakan yang perlu dilakukan dalam kurun waktu lima tahun. Tahap ini menghasilkan strategi perubahan serta tonggak pencapaian (milestones) sejak tahun 2024 sehingga pada tahun 2029 kondisi yang diharapkan dapat dicapai. Merumuskan milestones dan strategi ini sangat penting karena banyak kebijakan pendidikan yang saling berkaitan sehingga satu regulasi perlu diubah terlebih dahulu agar regulasi yang lain dapat juga diubah. Pada tahap ini juga PSPK memanfaatkan pengalamannya dalam mendampingi Pemerintah di dua lapisan Sistem Pendidikan Indonesia, yaitu Pusat dan Daerah, untuk mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan yang strategis, mengidentifikasi potensi kebijakan yang diusulkan tersebut untuk diimplementasikan, serta tantangan yang mungkin akan dihadapi.

Proses berpikir pada tahap kedua ini diawali dengan menyepakati kondisi yang diharapkan pada tahun 2029 berdasarkan kondisi saat ini (tahun 2023), khususnya berdasarkan kebijakan-kebijakan yang berlaku serta data yang menggambarkan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Data empiris dari hasil penelitian dan monitoring evaluasi kebijakan menjadi rujukan dalam menentukan kondisi saat ini. Setelah itu, PSPK mengidentifikasi urutan (sequence) perubahan kebijakan dan implementasinya. Urutan ini menjadi penting mengingat perubahan satu regulasi dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh regulasi lainnya.Tahap ketiga yang dilakukan adalah mengkomunikasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut kepada berbagai pihak untuk mendapatkan umpan balik yang berguna untuk melengkapi dan menyempurnakan rekomendasi yang disusun. PSPK melakukan diskusi dan konsultasi dengan

pembuat kebijakan di tingkat pusat dan daerah untuk mendapatkan masukan dan pandangan tentang strategi yang dikembangkan. Artinya, proses pengembangan rekomendasi kebijakan tidak tidak dilakukan secara linear melainkan iteratif sebagai suatu siklus. Proses diskusi terus menerus tersebut dilakukan bersama Dewan Pakar PSPK, mitra utama PSPK, lembaga-lembaga penelitian dan advokasi kebijakan pendidikan, serta masyarakat pada umumnya melalui berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh PSPK ataupun yang PSPK hadiri. 

Melalui tahapan dan langkah-langkah tersebut, lima area kebijakan dihasilkan, yaitu: 1) akses yang berkeadilan ke sekolah yang berkualitas dan terjangkau, 2) pembelajaran berkualitas yang berkeadilan, 3) pemerataan guru berkualitas, 4) pendidikan vokasi sebagai persiapan kerja, serta 5) pemerataan akses dan kualitas pendidikan tinggi. Berikut ini adalah penjelasan tentang urgensi intervensi kebijakan untuk masing-masing area secara ringkas.

1| Akses yang berkeadilan ke sekolah yang berkualitas dan terjangkau 

Akses pendidikan seringkali dianggap sebagai suatu perkara yang sudah tidak mendesak lagi di Indonesia karena Angka Partisipasi yang sudah tinggi dan memiliki tren yang meningkat pada tiap jenjang (Badan Pusat Statistik, 2023). Meski angka partisipasi sekolah sudah baik, PSPK meyakini dan menekankan pentingnya akses ke sekolah yang berkualitas dan terjangkau yang disediakan oleh Pemerintah. Artinya, peningkatan angka partisipasi pendidikan perlu dipenuhi melalui peran Pemerintah yang lebih dominan, agar setiap anak mendapatkan pendidikan yang dibiayai Negara dan dengan kualitas yang juga sepenuhnya di bawah kendali Pemerintah.  

PSPK berpendapat bahwa metode untuk merealisasikan pembelajaran berkualitas adalah dengan menghadirkan sistem pengawasan dan evaluasi yang ketat dari pemerintah, yang dapat direalisasikan melalui peran sekolah negeri. Hal ini ditekankan karena sekolah swasta memiliki rentang perbedaan kualitas sekolah yang lebih lebar. Selain itu, sekolah swasta yang berkualitas tinggi pada umumnya terlalu mahal bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan menengah ke bawah, yakni membutuhkan setidaknya Rp 35.540.586 untuk mendapatkan akses ke sekolah swasta yang berkualitas (Shihab, et al., 2023).

Meski demikian, PSPK tidak mengarahkan advokasinya semata-mata pada penambahan sekolah negeri saja. Secara historis sekolah swasta terutama di jenjang SMP dan SMA telah berkontribusi mendukung Wajib Belajar 9 tahun dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menampung lebih banyak siswa. Maka dari itu, sebagai salah satu strategi dari peningkatan daya tampung sekolah untuk dapat mengakses pendidikan yang berkualitas bagi anak dari kelompok yang miskin, PSPK menganjurkan bentuk kerjasama antara pemerintah dan pihak sekolah swasta melalui pembentukan sistem school voucher. Sistem school voucher ini berarti pemerintah menjalin kerjasama bersama sekolah swasta yang berkualitas dengan mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan estimasi biaya satuan (unit cost) per anak, agar anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan untuk masuk sekolah swasta berkualitas, bebas biaya. 

Harapannya, di 2029 akses pendidikan ke sekolah yang berkualitas dan terjangkau untuk anak PAUD sampai jenjang SMA/K sudah semakin berkeadilan. Berdasarkan Pasal 31 UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat dua kebijakan dalam menunjang pembelajaran yang berkeadilan, dilihat dari penambahan daya tampung dan memperluas kesempatan pendidikan. Harapannya, kebijakan Wajib Belajar tidak hanya sampai 9 tahun, yang

membuat pendidikan SMA/K/sederajat terdeprioritasi, namun menjadi 12+1 yang diakomodasi di level Undang-Undang sebagai dasar bagi pemerintah pusat dan daerah dalam memperluas akses pendidikan pra-SD dan dasar dan menengah.

2| Pembelajaran berkualitas yang berkeadilan

Menurut pengamatan PSPK, seringkali diskusi tentang pemerataan kesempatan pendidikan terbatas pada masalah akses, dengan asumsi bahwa ketika anak-anak dari keluarga miskin serta kelompok marjinal lainnya sudah dapat berpartisipasi dalam sistem pendidikan, maka kesempatan pendidikan telah merata. Padahal belum tentu pendidikan yang diakses memberikan layanan pembelajaran yang baik. Disparitas hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa pembelajaran yang dialami anak-anak dari keluarga yang lebih sejahtera secara signifikan lebih baik daripada yang dialami oleh anak-anak dari keluarga dari kelompok SES di bawahnya (OECD 2023), dan hal ini juga ditunjukkan pada tes PISA tahun-tahun sebelumnya (Aditomo & Felicia, 2018). Artinya, akses saja tidak cukup untuk memberikan bekal bagi anak-anak dari kelompok miskin untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. 

Konsep tentang berhasil atau gagalnya sekolah (school failure) pun dikaitkan dengan bagaimana sekolah tersebut menyediakan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak yang berbeda-beda, yang kemudian berdampak pada keberhasilan atau kegagalan mereka mencapai kompetensi yang ditargetkan. Ketika sebagian anak harus bersekolah dengan kualitas pembelajaran yang rendah, kesenjangan hasil belajar akan terus nyata (Randall et al., 2022). Akibatnya, bagi sebagian anak, bersekolah tidak memberikan banyak manfaat untuk menjadi kompeten dan siap untuk memasuki dunia kerja. 

PSPK menggunakan perspektif ekosistem dalam menelaah masalah kesenjangan pembelajaran. Oleh karena itu PSPK memandang bahwa pembelajaran bukanlah masalah teknikal terkait kemampuan guru mengajar atau kualitas buku teks saja. Faktor guru, kurikulum, dan murid bukanlah faktor yang berdiri sendiri-sendiri melainkan ada interaksi antar ketiganya yang mempengaruhi kualitas hasil belajar, dan interaksi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar sekolah. PSPK juga memandang bahwa apa dan bagaimana guru mengajar sangat dipengaruhi kebijakan, terutama kebijakan kurikulum yang berperan sebagai pengarah guru tentang apa yang perlu diajarkan serta bagaimana pembelajaran tersebut dianjurkan oleh Pemerintah. 

Berdasarkan keterlibatan PSPK dalam berbagai diskusi bersama guru saat mendukung Kemendikbudristek dalam merancang Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran yang digunakan guru juga tidak lepas dari karakteristik dan kesiapan belajar murid yang mereka hadapi. Demografi murid juga tidak jarang menjadi landasan bagi guru untuk menentukan bagaimana pembelajaran dilakukan dan ekspektasi yang mereka harapkan dari murid yang mereka ajar. Ketika anak-anak datang dari keluarga miskin, sebagian guru menyatakan bahwa mereka tidak berharap anak–anak tersebut dapat mencapai prestasi tinggi karena menyadari kesulitan yang mereka harus hadapi. Akibatnya, seringkali anak-anak tersebut kurang diperhatikan di dalam kelas, ketertinggalan mereka dalam mencapai kompetensi minimum pun dianggap sebagai kewajaran. Hal ini terpaksa dilakukan guru karena muatan kurikulum yang begitu padat memaksa guru untuk mengajar dengan cepat tanpa menunggu seluruh muridnya mencapai kompetensi tersebut.

Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini Kurikulum Merdeka telah diimplementasikan di semua daerah di Indonesia atau sekitar 55% satuan pendidikan. Kurikulum ini baru saja dimulai pada tahun ajaran 2022/2023 sehingga masih sangat baru. Kurikulum ini dirancang dengan memperhatikan masalah-masalah kesenjangan kesempatan belajar di atas, di mana setiap anak perlu dapat mencapai kompetensi minimum dan guru didukung dan diarahkan untuk mengajar sesuai dengan kebutuhan anak serta konteks di daerah tersebut (Anggraena et al., 2022). Baru diterapkan dalam dua tahun ajaran, Kurikulum Merdeka memang belum memperlihatkan dampaknya terhadap hasil belajar anak. Namun demikian, sebagai alat bantu guru, kurikulum ini mulai mengubah praktik-praktik pembelajaran. Implementasi kurikulum saja tidak cukup, dukungan sistem harus diberikan secara menyeluruh. Oleh karena itu PSPK juga mengadvokasikan adanya dukungan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah bagi guru untuk belajar mengubah cara pikir dan cara kerjanya melalui penguatan proses belajar dalam komunitas-komunitas profesi guru. 

Selanjutnya PSPK berpandangan bahwa tantangan pembelajaran yang dihadapi sekolah-sekolah dengan mayoritas muridnya dari keluarga miskin lebih besar daripada sekolah-sekolah dengan mayoritas murid dari keluarga sejahtera. Anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan dukungan pembelajaran di rumah yang jauh lebih terbatas. Orangtua mereka juga pada umumnya berpendidikan lebih rendah daripada keluarga dengan SES yang lebih tinggi, sehingga kemampuan mereka untuk mendorong proses belajar anak juga terbatas. Oleh karena itu, menurut PSPK kerangka intervensi peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah-sekolah dengan mayoritas murid miskin perlu lebih komprehensif, tidak hanya fokus pada proses di kelas tetapi juga berupaya untuk membantu orangtua agar lebih berdaya dalam mendukung pembelajaran anak mereka.

3| Pemerataan guru berkualitas 

PSPK percaya bahwa setiap anak dapat berdaya jika perkembangannya didukung secara efektif oleh ekosistem pembelajaran di sekitarnya. Realisasi pendidikan yang berkeadilan melibatkan peran pemangku kepentingan dalam berbagai konteks, baik konteks terkait sekolah maupun di luar sekolah. Guru, sebagai bagian dari ekosistem dalam sekolah,  memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran anak, dan menurut beberapa penelitian dilihat sebagai faktor yang menentukan capaian dan hasil belajar anak (Isaac, 2019; Darling Hammond, 2000, 2001; OECD, 2005; Rockoff, 2004). Guru menjadi aktor yang setiap keputusan dan tindakannya akan memiliki dampak langsung pada proses pembelajaran anak. Mengingat peran penting dari guru dalam pembelajaran anak,  ketersediaan guru yang kompeten di setiap sekolah dalam setiap jenjang menjadi penting dan mendesak untuk menjamin kualitas pembelajaran. Dengan ketersediaan guru kompeten di setiap sekolah, maka semakin dekat Indonesia dengan visi pendidikan berkualitas dan berkeadilan.

Menjadi guru yang kompeten adalah hal yang sangat sulit dikarenakan variasi tuntutan dan ekspektasi sosial terhadap profesinya. Tuntutan ini dimulai dari bagaimana guru harus memenuhi standar pengajaran dan memahami implementasi kebijakan di level negara dan sekolah, sampai pada tuntutan norma sosial yang terbangun oleh orang tua murid, anak dan masyarakat. Tuntutan lainnya juga dapat berasal dari dirinya sendiri; guru memiliki ekspektasi yang Ia bangun untuk dirinya berdasarkan apa yang mereka percayai sebagai suatu aspek yang esensial untuk berperforma sebagai guru yang baik. Sementara itu, belum ada kesadaran kolektif dari semua guru untuk terus meningkatkan kompetensinya secara substantif dan komprehensif. Berdasarkan pengamatan PSPK, terdapat kecenderungan untuk anak-anak dari kelompok marginal mengalami proses pembelajaran yang kurang berkualitas dan cenderung didampingi oleh guru yang tidak berpengalaman atau kurang kualifikasi. Isu sebaran dan distribusi guru yang kompeten juga masih menjadi hambatan pembelajaran berkualitas untuk semua anak, di mana masih terdapat ketidakcocokan antara kebutuhan guru di lapangan dan jumlah tenaga guru yang dikirimkan (Huang, 2020). Latar belakang hal ini diasumsikan terjadi karena kurang efektifnya strategi penempatan guru yang berbasis data riil atau belum selarasnya data kebutuhan guru antara satuan pendidikan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat. Selain itu, ketika publik membahas mengenai isu profesi guru, seringkali yang menjadi fokus pembahasan adalah pentingnya untuk mencapai pemenuhan kuota kebutuhan guru dan menaikkan gaji guru secara serentak untuk menjamin kesejahteraan profesinya. Padahal, dibutuhkan perspektif yang sistematik untuk menganalisis tantangan dan kebutuhan di dalam ruang lingkup guru, karena guru tidaklah berada di dalam vakum, namun berada dalam sistem yang secara interseksional mempengaruhi kinerjanya. 

PSPK melihat bahwa terdapat tiga ruang lingkup dalam mengupayakan kehadiran guru yang kompeten untuk semua anak, yaitu melalui strategi distribusi yang akan memastikan bahwa setiap sekolah di daerah akan mendapatkan guru kompeten yang mereka butuhkan sesuai dengan data yang paling terbaru, dan jaminan kesejahteraan guru sebagai pemenuhan hak guru.

4| Pendidikan vokasi sebagai persiapan kerja

Pemerintah sejak 2019 telah menjadikan percepatan pembangunan SDM sebagai prioritas nasional. Konteks pembangunan SDM sendiri memiliki orientasi memperbaiki kualifikasi tenaga kerja agar menjadi tenaga kerja yang terlatih, terampil agar terserap semuanya ke dalam industri yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 (Perpres 18 Tahun 2020). PSPK melihat  bahwa pendidikan vokasi memegang peran penting sebagai jenjang pendidikan yang fokus pada penyiapan kebekerjaan dengan memanfaatkan taut-suai kemitraan dengan dunia kerja yang orientasinya selaras dengan pembangunan ekonomi dan melalui peningkatan kesejahteraan hidup siswa kedepannya.  Melalui media pembelajaran yang fokus pada keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dunia kerja.

Keseriusan pemerintah dalam mengembangkan pendidikan vokasi ini diawali sejak 2016 dengan terbitnya Inpres No.9 Tahun 2019 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas SDM, yang kemudian ditingkatkan lagi melalui terbitnya Perpres No.68 Tahun 2022 tentang revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi.

Pendidikan vokasi juga penting untuk memberikan kesempatan bagi siswa memperoleh keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri dengan harapan agar lulusan pendidikan vokasi dapat segera terserap oleh industri. Banyak negara menghadapi tantangan di mana lulusan pendidikan formal tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dalam hal ini, pendidikan vokasi dapat memberikan solusi dengan memberikan pelatihan keterampilan yang relevan dan praktis sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga membantu mengurangi kesenjangan antara pengetahuan yang dipelajari di institusi pendidikan dan kebutuhan praktis di dunia kerja.

PSPK melihat bahwa kebijakan kemitraan yang menyeluruh merupakan aspek yang krusial untuk didorong demi pengembangan pendidikan vokasi yang lebih esensial dalam membangun kualitas SDM dan daya saing bangsa. Harapannya, jika kebijakan terkait kemitraan dirancang dengan  intensi untuk berkolaborasi dan bermitra dengan dunia kerja, maka kedepannya pendidikan vokasi dapat fokus pada intervensi pembelajaran melalui penguatan kurikulum adaptif dan sistem asesmen komprehensif hingga komitmen serapan lulusan untuk siswa SMK berdaya dan kesempatan untuk menaikkan kualitas hidupnya. 

5| Pemerataan akses dan kualitas pendidikan tinggi

Transformasi pendidikan tinggi perlu menjadi prioritas dan menaruh perhatian dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Hari ini dari segi produktivitas SDM secara nasional, dari 72,72% penduduk usia produktif, hanya 13% yang mengenyam pendidikan tinggi. Lainnya didominasi oleh lulusan SMP dan lulusan SMA/MA/SMK. Artinya dengan profil angkatan kerja ini, produktivitas nasional bisa jauh tertinggal dibanding negara maju yang angkatan kerjanya didominasi lulusan pendidikan tinggi sehingga perlu upaya ekstra untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) di samping juga meningkatkan kualitasnya seiring pemerataan akses.

Hadirnya upaya penyempurnaan di sektor pendidikan beriringan dengan jenjang pendidikan lainnya dalam berbagai isu juga telah dilakukan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi seperti standar nasional, akreditasi, fasilitasi berbagai jenis pembelajaran di luar kampus melalui MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), dukungan dana riset, hingga dana abadi pendidikan yang perlu untuk diapresiasi. Namun perlu untuk terus menilik kembali semangat bahwa berbagai kebijakan tersebut muaranya adalah memberikan dampak konkrit bagi masyarakat, artinya perguruan tinggi sangat penting untuk mengambil peran, karena perguruan tinggi telah diberikan otonomi sehingga memiliki ruang gerak lebih luas untuk melakukan diferensiasi misi dan berinovasi, mengurangi beban administrasi sehingga perguruan tinggi bisa lebih fokus pada peningkatan mutu Tridharma Perguruan Tinggi.

Sehingga ke depan perlu untuk terus berefleksi mengenai arah perubahan dan langkah strategis yang menjadi pondasi dalam upaya peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi. Dengan memastikan akses yang setara kepada seluruh lapisan masyarakat dalam menempuh pendidikan tinggi yang berkualitas, maka akan berdampak pada perluasan basis sumber daya manusia yang berkualitas. Sehingga kualitas SDM yang berdaya saing dan kompetitif akan merata serta sekaligus meningkatkan kontribusi semua sektor terhadap pembangunan bangsa. Oleh karena itu, peran pendidikan tinggi sangat vital dan perlu upaya komprehensif untuk meningkatkan akses serta pemerataan kualitas yang harus berjalan beriringan, dan pada akhirnya ada signifikansi peningkatan kualitas serta daya saing bangsa melalui hadirnya perguruan tinggi yang inklusif, kontributif, memiliki future outlook yang kuat, unggul, otonom, dan mandiri, serta diakui secara global.

One thought on “Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan”

  1. Era Fitria Ramadhan Desember 16, 2023

    Buku yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak, syarat informasi kondisi ekosistem pendidikan anak di Indonesia, kajian komprehensif hampir dari semua aspek berdasarkan data dan sumber yang valid, terbaru dan bisa diakses. Terimakasih tim author, semoga akselerasi kebijakan2 ‘baik’ area pendidikan di Indonesia terwujud lebih cepat.

Add a Comment

Your email address will not be published.