Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan

Oleh:

Pendidikan adalah suatu sistem yang kompleks. Bagi PSPK, perubahan atau penguatan kebijakan saja tidak cukup untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan yang berpihak kepada anak. Kebijakan yang berupa Peraturan, Ketetapan, Petunjuk Teknis, dan sebagainya pada dasarnya hanyalah dokumen, yang tidak dengan sendirinya menghasilkan perubahan nyata di ruang-ruang kelas. Kebijakan tidak dapat mengubah cara berpikir, perilaku, serta proses pembelajaran apabila tidak diikuti dengan intervensi lainnya. Intervensi yang dimaksud tidak terbatas pada kemampuan atau kompetensi untuk menjalankan kebijakan. Lebih kompleks daripada itu, implementasi kebijakan juga bergantung pada bagaimana kebijakan dipersepsikan (sensemaking process) baik oleh individu maupun secara kolektif (Spillane, 2004). Proses pemahaman tersebut pun tidak lepas dari kebiasaan atau tradisi yang sudah berjalan di sekolah, kebijakan yang saat ini ada, serta harapan dan tuntutan dari pemangku kepentingan lainnya (misalnya orangtua murid) yang harus dihadapi pihak sekolah (Bryk et al., 2015). Singkatnya, proses atau perjalanan perubahan kebijakan pendidikan tidak pernah sederhana.

Kompleksitas sistem pendidikan tidak lepas dari kenyataan bahwa terdapat banyak pihak yang terlibat dalam kebijakan pendidikan. Berdasarkan pengalaman kerjanya, PSPK mengidentifikasi setidaknya ada 11 kelompok dalam ekosistem pendidikan yang berperan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan serta untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang berkeadilan dan berpihak kepada anak. Mereka adalah: Pemerintah Pusat, perwakilan Pemerintah Pusat di daerah (Unit Pelaksana Teknis atau UPT), Pemerintah Daerah, organisasi profesi guru, penyelenggara sekolah swasta, komunitas dan organisasi penggerak pendidikan, perkumpulan orangtua murid di sekolah dan antar sekolah, Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan akademisi, media massa, organisasi siswa/mahasiswa intra dan lintas satuan pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan filantropi. 

Masing-masing pemangku kepentingan tersebut dapat mempengaruhi formulasi maupun implementasi kebijakan-kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman PSPK perkumpulan orangtua murid di sekolah dan antar sekolah memiliki minat yang tinggi dan mempengaruhi proses perancangan kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di daerah, sementara organisasi profesi guru seperti asosiasi guru mata pelajaran menunjukkan pengaruhnya pada kebijakan Kurikulum Merdeka. Dengan demikian, pelibatan pemangku kepentingan berguna untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat Pemerintah telah memperhatikan berbagai aspek dan perspektif. 

Pelibatan pemangku kepentingan bukanlah perkara yang sederhana. Di satu sisi pelibatan ini memberikan manfaat besar untuk kualitas kebijakan yang dihasilkan karena telah memperhatikan berbagai sisi. Namun demikian, masing-masing pihak pemangku kepentingan memiliki perspektif, agenda prioritas, pendekatan, serta kebutuhan yang berbeda-beda.  Apabila tidak dikelola dengan baik, pelibatan berbagai pemangku kepentingan juga dapat kontraproduktif, terutama apabila terjadi relasi kuasa yang tidak setara antara satu pemangku kepentingan dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam upaya formulasi maupun implementasi kebijakan, PSPK mendorong pentingnya mengidentifikasi pihak Pemerintah Pusat maupun Daerah serta pemangku kepentingan yang perlu dilibatkan dalam memberikan pertimbangan serta mendukung kebijakan. Identifikasi ini kemudian diikuti dengan pengembangan strategi pengelolaan pelibatan masing-masing pihak tersebut. Selain kompleksitas yang dipengaruhi oleh beragamnya pemangku kepentingan, kritik yang juga kerap disampaikan publik adalah ketidaksesuaian antara kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dengan kapasitas (kompetensi dan sumberdaya) pelaksananya. Kebijakan dinilai terlalu ideal namun tidak mudah dipahami apalagi diimplementasikan. Sebagai contoh, monitoring dan evaluasi Kemendikbudristek (n.d.) menunjukkan bahwa sebagian guru berpendapat bahwa Kurikulum Merdeka sulit dilakukan karena tidak adanya arahan yang konkrit dan spesifik dari Pemerintah Pusat. Padahal kebijakannya memang demikian, di mana Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan pembelajarannya secara independen dengan aturan yang minimum dan umum dari pemerintah. Namun ketidakselarasan antara kebijakan implementasi kurikulum dengan ekspektasi guru dapat menjadi hambatan implementasi kebijakan. Oleh karena itu, perubahan dan implementasi kebijakan perlu diikuti dengan peningkatan kapasitas pihak-pihak yang menjalankan atau terdampak dari kebijakan tersebut. 

Termasuk dalam kapasitas untuk mengimplementasikan kebijakan adalah ketersediaan anggaran. Ide-ide perubahan kebijakan seringkali tidak dapat diterapkan karena anggaran tidak tersedia (kebijakan terlalu mahal) atau anggaran tidak dialokasikan untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam mengadvokasikan kebijakan, PSPK senantiasa memperhatikan kesiapan anggaran untuk mendukung keberhasilan kebijakan tersebut. Sebagai contoh, meskipun SMK dinilai dapat mengatasi masalah pengangguran, PSPK tidak mendorong penambahan satuan SMK secara besar-besaran sebab anggaran yang dibutuhkan untuk membangun satu satuan SMK yang berkualitas biayanya lebih tinggi daripada menambah SMA. 

Bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada publik juga menjadi faktor yang sangat berperan dalam implementasi serta keberlangsungan kebijakan. Pengalaman PSPK dalam membantu Kementerian merancang kebijakan menunjukkan bahwa miskonsepsi publik merupakan tantangan besar yang sulit dibendung, dan akhirnya dapat menyebabkan gagalnya suatu regulasi diterbitkan, atau penolakan publik. Sebagai contoh, kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan salah satu kebijakan yang menuai respon publik yang ramai karena kebijakan ini menggunakan paradigma yang berbeda dalam menentukan siapa yang berhak masuk ke sekolah negeri (Felicia et al., 2023). Apabila paradigma ini tidak dikomunikasikan dengan efektif, keberlangsungan kebijakan tersebut menjadi terancam karena Pemerintah akan dinilai tidak membuat kebijakan yang relevan. 

Tidak kalah pentingnya untuk mewujudkan kebijakan yang berdampak pada anak adalah waktu (OECD, 2019). Seluruh pihak yang berperan dalam ekosistem pendidikan membutuhkan waktu untuk melakukan transformasi pembelajaran. Guru perlu waktu untuk terbiasa menggunakan kurikulum, pimpinan sekolah perlu waktu untuk belajar melakukan evaluasi diri dan perencanaan yang berbasis pada data. Artinya, pelaksana kebijakan (guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan) perlu membiasakan diri dan mengembangkan kapasitasnya secara berangsur-angsur untuk dapat menjalankan amanat kebijakan dan memberikan dampak nyata dari kebijakan tersebut terhadap luaran sistem pendidikan, yaitu hasil belajar anak yang lebih baik. Kebijakan yang dipaksakan untuk sesegera mungkin diimplementasikan sesuai dengan harapan Pemerintah dapat membuat guru merasa frustasi dan malah menolak perubahan (Wilcox et al., 2017). 

One thought on “Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan”

  1. Era Fitria Ramadhan Desember 16, 2023

    Buku yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak, syarat informasi kondisi ekosistem pendidikan anak di Indonesia, kajian komprehensif hampir dari semua aspek berdasarkan data dan sumber yang valid, terbaru dan bisa diakses. Terimakasih tim author, semoga akselerasi kebijakan2 ‘baik’ area pendidikan di Indonesia terwujud lebih cepat.

Add a Comment

Your email address will not be published.