Zonasi, Pendidikan yang Membebaskan ala Kemendikbud
Bagi kalangan aktivis mahasiswa, Paulo Freire adalah metafora seorang Lionel Messi dalam dunia sepak bola. Segala pemikiran progresif Freire tentang pendidikan, agaknya mewakili keresahan kita akan masalah paling haqiqi dalam kehidupan: kesenjangan, maupun masalah seperti-jika meminjam istilah Ivan Illich-pendidikan yang berubah menjadi semakin mekanik.
Kesenjangan dalam dunia pendidikan memang menjadi realita yang memprihatinkan. Laporan PISA (lembaga yang bertujuan mengukur keterampilan kognitif siswa) pada tahun 2015, menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan mutu antar sekolah di Indonesia mencapai angka 49 %, jauh tertinggal dibanding selebriti negara dengan sistem pendidikan terbaik, Finlandia yang hanya sebesar 11 % atau negara tetangga, Singapura yang berada di angka 39%.
Penelitian ini membeberkan fakta yang mencengangkan. Bayangkan saja, dengan besarnya tingkat ketimpangan seperti itu, ibarat seorang anak yang bersekolah di lembaga yang tergolong “tidak favorit” dibanding temannya yang bersekolah di institusi “favorit”, telah tertinggal tingkat literasinya sejauh 2 tahun! Meskipun pada kenyataannya, mereka berada pada level Pendidikan yang sama.
Kemudian saya terhenyak. Caci maki datang hampir dari seluruh penjuru Indonesia ketika Mendikbud menerapkan kebijakan zonasi. Banyak yang menghujat kebijakan ini, karena dianggap sebagai keputusan yang tak komprehensif dan merenggut kebebasan seorang siswa.
Paket Komplit
Padahal, ini adalah salah satu usaha yang menunjukkan itikad baik Kemendikbud untuk menyelesaikan kompleksitas pendidikan yang selalu berputar pada pendulum yang sama. Utamanya masalah yang terjadi pada pendidikan level dasar dan menengah, terkait sekolah dan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Jika diperhatikan, seperti dalam laporan NEW (Network for Education Watch) Indonesia tahun 2017 menyebutkan soal masalah klasik pendidikan seperti : Disparitas akses antara “si miskin” dan “si kaya”, fenomena siswa titipan pejabat di sekolah “unggulan” (jual-beli kursi) atau fakta adanya sekolah swasta/negeri yang menolak siswa miskin.
Zonasi sebenarnya adalah satu tindakan yang bisa berperan sebagai Multiplayer Effect untuk menghentikan masalah tersebut. Pada kasus terhalangnya akses bagi si miskin untuk bersekolah dengan layak misalnya, banyak disebabkan oleh praktik feodal oknum tertentu seperti “menjual kursi” sekolah favorit kepada yang berduit.
Hal yang jika dibiarkan layaknya menyeret pendidikan kita ke arah yang sangat neolib, yakni komersialisasi pendidikan. Seseorang akan bersekolah sesuai keinginannya asal jika ia berhasil memenuhi harga yang ditentukan oleh “pasar”.
Zonasi juga hadir untuk menuntaskan fenomena “berkumpulnya” mereka yang pintar dan kaya pada suatu “rayon” tertentu. Fenomena klasik yang tak terbantahkan menjadi salah satu penyumbang terbesar semakin lebarnya jurang disparitas. Data menarik terkait hal ini tercermin dari hasil kajian Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK). Hasil kajian ini menjelaskan bahwa penyumbang terbesar kesenjangan pada output pendidikan justru datang dari kesenjangan mutu antar sekolah bukan kesenjangan individu yang ada di sekolah.
Sistem zonasi, pada dasarnya akan menghapus praktek ekslusivitas dan kasta dalam prioritas penerimaan peserta didik, karena tidak disandarkan pada kemampuan ekonomi dan strata sosial tertentu. Bahkan, dalam kebijakan zonasi PPDB 2018, terdapat kebijakan yang sangat revolusioner, yakni kuota khusus 20 % bagi orang miskin untuk diprioritaskan. Lewat kebijakan ini, jurang pemisah berwujud kondisi ekonomi bukan lagi menjadi alasan untuk tidak mendapatkan pendidikan.
Sederet problematika dan analisa dari berbagai data inilah yang mendorong Kemendikbud untuk kekeuh dan hadir lewat penerapan sistem zonasi.
Tapi sayangnya, niat Kemendikbud untuk berpihak pada yang miskin ternyata dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan berbagai praktek culas. Hasil investigasi PPDB tahun 2017 oleh NEW Indonesia melaporkan banyaknya indikasi “pura-pura miskin” yang terjadi lewat pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di masyarakat. Akhirnya, Mendikbud memutuskan untuk menghapus kuota ini dengan berjanji untuk memperhatikan rakyat kurang mampu lewat cara lain seperti tunjangan atau bantuan operasional lewat KIP.
Puzzle Kecil dari Rangkaian Kebijakan
Namun, apakah sistem zonasi akan serta merta menghapus gap antar sekolah ? apalagi ditambah dengan munculnya berbagai persoalan teknis di lapangan terkait hal ini. Penolakan dari berbagai kalangan terkait “diabaikan”nya nilai hasil ujian siswa, masih rancunya indikator pengukuran jarak, atau daya tampung yang tidak mencukupi menjadi kendala yang ditemui di lapangan.
Namun, semestinya hal-hal tersebut bukan menjadi alasan untuk merubah niat dan gagasan yang mulia ini. Ada hal urgen yang harus diketahui, bahwa zonasi adalah kepingan kecil dari rangkaian kebijakan yang ingin diterapkan.
Contohnya, sistem Full Day School (FDS) yang merupakan bagian dari kebijakan pendidikan karakter yang lalu. Jika dipahami, zonasi akan menjadi sangat relevan jika dipadukan dengan sistem FDS, karena akan memangkas waktu pergi dan pulang dari sekolah. Sehingga, dampak FDS yang selama dikeluhkan yakni mengurangi waktu interaksi orang tua dan anak, bisa diminimalisir lewat jarak tempuh sekolah yang berkurang.
Selain itu, sistem ini akan menjadi awal yang baik untuk menghilangkan diskriminasi kualitas guru, yang selama ini terkonsentrasi pada wilayah dan sekolah tertentu. Sebagai contoh kita bisa melihat pendistribusian guru berstatus PNS. Pada tahun 2017, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) memberikan data yang jelas terkait ketimpangan pendistribusian guru PNS di Indonesia.
Di tingkat provinsi, DKI Jakarta sudah memiliki 33.037 guru PNS dengan total 4.624 sekolah (1:7), sedangkan Provinsi Kalimantan Utara misalnya, hanya memiliki 1.116 guru PNS yang meliputi 744 sekolah (1:1). Perbandingan yang tidak imbang ini harus segera diakhiri. Wacana penerapan zonasi guru sebagai tindak lanjut Kebijakan Zonasi dalam PPDB pun sudah divalidasi oleh Menteri dan Dirjen GTK Kemendikbud.
Pun juga hal lain yang kelak akan menjadi ujung dari penerapan zonasi adalah arah pemerataan kualitas sarana di sekolah. Adanya sekolah favorit berkonsekuensi logis pada konsentrasi pembangunan. Logika ini wajar, karena toh sekolah favorit membutuhkan fasilitas yang lebih demi menjaga output siswa dan “reputasi”nya. Melihat hal itu, zonasi membuat pembangunan akan lebih memprioritaskan kebutuhan setiap wilayah sehingga tidak hanya berputar-putar pada sekolah-sekolah itu saja.
Hemat saya, inilah wujud kongkrit usaha untuk membebaskan pendidikan Indonesia dari soal disparitas dan ketidakadilan.
Karena tak dapat dipungkiri, masalah utama yang selama ini terjadi ialah apa yang disebut dalam Laporan OXFAM tentang Inequality in Indonesia sebagai tendensi Political Capture. Keputusan politik strategis yang dibuat hanya untuk memuluskan/menguntungkan kepentingan golongan tertentu.
Maka, kebijakan langka yang berpihak pada kemiskinan, pemerataan atau pembebasan atas penindasan tak boleh kalah oleh pressure sebagian pihak dan gugur karena kendala teknis yang sebenarnya solvable.
Artikel ini telah tayang di GeoTimes dengan judul “Zonasi, Pendidikan yang Membebaskan ala Kemendikbud”, Klik untuk baca: https://geotimes.co.id/opini/zonasi-pendidikan-yang-membebaskan-ala-kemendikbud/.
Penulis : Irsyad Madjid