Sekolah Ramah Perempuan

Oleh Nisa Felicia Faridz

Dilihat melalui dua indikator yang paling banyak digunakan dalam mengukur keberhasilan sistem pendidikan, terutama terkait kesetaraan. Pertama adalah indikator akses pendidikan: Apakah perempuan memiliki kesempatan bersekolah seperti halnya laki-laki? Indikator kedua adalah hasil belajar: Apakah hasil tes atau nilai ujian perempuan setara dengan laki-laki? Di mana indikator ini digunakan untuk mengidentifikasi kualitas proses belajar yang dilalui perempuan dan laki-laki. Dari kedua indikator tersebut, Indonesia termasuk negara yang dinilai berimbang dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada perempuan dan laki-laki.

Salah satu informasi yang paling mendasar tentang pemenuhan hak belajar anak Indonesia dapat dilihat melalui angka partisipasi pendidikan. Hasilnya memperlihatkan bahwa 97,65% anak laki-laki usia 7-12 tahun bersekolah dan untuk anak perempuan sebesar 97,64%. Terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Namun, semakin tinggi usia angka ini memang semakin turun, di mana hanya 60,21% remaja laki-laki usia 16-18 tahun yang bersekolah sesuai jenjangnya. Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan remaja perempuan sebanyak 61,89%. Penurunan angka partisipasi seiring dengan naiknya usia dan jenjang pendidikan ini menunjukkan bahwa isu akses pendidikan menengah dan pendidikan tinggi semakin sulit dijangkau, tetapi tidak memperlihatkan masalah ketimpangan berbasis gender. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama sulit mengaksesnya dan pemerintah perlu meningkatkan akses untuk semua. 

Indikator kuantitatif lainnya adalah capaian hasil belajar. Sejauh ini, data yang cukup dapat diandalkan untuk menjelaskan capaian belajar remaja usia 15 tahun di Indonesia dibandingkan negara lainnya adalah hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment). Survei PISA merepresentasikan sekitar 85% remaja Indonesia usia 15 tahun yang mana relatif setara dengan proporsi remaja Indonesia usia 15 tahun yang bersekolah. Hasil survei tersebut memperlihatkan kemampuan literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara nyata. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan memang, di mana hanya 30% siswa Indonesia yang mencapai level kompetensi minimum untuk literasi membaca. Angka yang terbilang rendah melihat sekitar 77% remaja seusia mereka yang hidup di negara maju sudah melampaui standar tersebut. Namun, dalam konteks kali ini poin penting yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak ada perbedaan yang nyata hasil belajar antara laki-laki dan perempuan;  sama-sama rendah, sayangnya.

Angka-angka tersebut akan tetapi tidak cukup untuk menjelaskan proses dan kehidupan anak-anak Indonesia di lingkungan sekolah. Rasanya semua setuju bahwa sekolah bukanlah pabrik yang tidak terlalu memikirkan lika-liku prosesnya bahkan cenderung berorientasi pada efisiensi semata. Sekolah tidak sekadar berfungsi untuk mengajarkan baca-tulis-hitung dengan berbagai level kompleksitasnya di berbagai mata pelajaran yang bertujuan untuk mendapatkan ijazah saja. Sekolah adalah tempat hidup berbagai proses belajar terjadi baik melalui planned curriculum, yaitu kurikulum yang direncanakan, dijadwalkan, dan diatur oleh sistem pendidikan; ataupun melalui hidden curriculum. Kurikulum tersembunyi ini maksudnya adalah hal-hal yang dipelajari anak meskipun pelajaran tersebut  yang tidak resmi dirancang oleh guru, tidak tertulis, sengaja diajarkan secara tersamar ataupun tidak sengaja “terajarkan” kepada siswa. Disebut sebagai kurikulum tersembunyi karena memang tidak eksplisit bahkan mungkin secara tidak sadar atau tidak sengaja guru menyampaikan cara pandang, nilai-nilai yang dianut, ataupun keyakinannya kepada siswa. Hidden curriculum ini tidak hanya perilaku, sikap, dan perkataan guru, tetapi juga berbagai kebijakan lainnya yang ada di sekolah.

Buku teks merupakan salah satu materi yang berpotensi mengajarkan bias-bias gender meskipun sebagai hidden curriculum. Rendahnya representasi perempuan profesional dalam buku teks serta penggambaran perempuan dalam peran domestik berpotensi mempertahankan nilai-nilai tradisional yang membatasi peran perempuan di wilayah domestik saja. Gambar-gambar dalam buku teks memiliki peluang untuk menginspirasi siswa tentang masa depan dan karier mereka, maka ketika perempuan lebih banyak direpresentasikan dengan peran-peran domestik, hal ini dapat memberikan pesan tertentu tentang peran-peran gender.

Termasuk juga dalam kurikulum tersembunyi yang berpotensi untuk bias gender juga adalah ekspektasi guru terhadap perilaku siswa perempuan dan laki-laki yang bisa jadi berbeda. Misalnya, anak perempuan tidak pantas bersuara lantang sementara anak laki-laki harus berani. Hal ini dapat mepengaruhi kemampuan dan kemauan anak perempuan untuk mengambil risiko. Selain itu, berbagai bentuk ujaran mikro-agresif lainnya yang berbasis gender yang terjadi terus menerus juga berpotensi menjadi “pelajaran” bagi siswa dalam pengembangan konsep dirinya sebagai perempuan. Guru sebagai perancang kurikulum yang dipelajari sehari-hari oleh anak-anak serta menjadi pihak dengan otoritas untuk membuat peraturan dan pengelolaan pembelajaran bisa jadi tidak secara berniat untuk mengajarkan nilai-nilai yang mendiskriminasi perempuan pada siswa-siswanya. Namun hal itu tidak menahan siswa untuk mempelajarinya.

Proses interaksi dan sosialisasi di atas adalah bagian dari lingkungan belajar yang juga berperan menjadi kurikulum untuk siswa. Berita baiknya adalah kondisi lingkungan belajar semakin diperhatikan oleh Kemendikbudristek. Mengadakan survei lingkungan belajar adalah suatu kebijakan yang penting di mana sekolah tidak lagi dipandang dari kemampuan mereka memberikan layanan akademik saja, tetapi juga dari kemampuan untuk menciptakan lingkungan tempat hidup dan bertumbuh kembangnya setiap individu siswa secara optimal, termasuk untuk anak-anak perempuan. Dengan memperhatikan lingkungan belajar, pandangan kita tentang masalah gender dalam pendidikan pun mulai beralih dari sekadar melihat proporsi anak perempuan yang bersekolah dan prestasi akademik mereka. Sebenarnya malah capaian literasi matematika perempuan pun bahkan melampaui laki-laki, sehingga seolah-olah isu ketimpangan gender tidak nyata dalam sistem pendidikan kita. 

Memahami sekolah sebagai tempat hidup akan membuat kita melihat tantangan berbeda yang dialami anak-anak perempuan. Tantangan yang paling mendasar, dan membedakan perempuan dan laki-laki adalah masalah menstruasi. Pada saat siswa perempuan menstruasi, ketersediaan air bersih dan toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang sangat esensial, terlebih karena mereka menghabiskan hampir setengah harinya di sekolah. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB atau Sustainable Development Goals SDGs) ketersediaan toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan merupakan indikator yang digunakan untuk menilai sekolah yang ramah anak. 

Sayangnya, data menunjukkan bahwa kurang dari 60% SMA di Indonesia memenuhi standar sanitasi dasar, yaitu memiliki toilet layak dan terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan dengan kondisi baik atau rusak ringan. Dan angka ini semakin menurun pada jenjang pendidikan yang lebih rendah (hanya sekitar 52% di SMP dan 40% di jenjang SD). Padahal kebutuhan yang mendasar dan sangat personal ini akan mempengaruhi anak-anak perempuan tentang konsep dirinya serta batasan privasi antara perempuan dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa hidden curriculum tidak hanya tentang apa yang diajarkan secara terselubung, tetapi juga apa yang tidak diajarkan secara layak. Laporan UNESCO juga menunjukkan bahwa sanitasi dasar ini dapat memperkecil potensi terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, suatu isu yang juga sangat serius di pendidikan Indonesia. 

Sekolah adalah tempat hidup anak-anak Indonesia, tempat di mana berjam-jam setiap harinya mereka belajar, terlepas dari guru mengajarkannya atau tidak, secara sengaja atau tidak. Dari interaksi dan proses sosialiasi dengan guru, kepala sekolah, dan teman sebaya setiap siswa belajar. Dari peraturan dan kebijakan di kelas dan sekolah pun mereka belajar. Ketika aturan berpakaian begitu detail untuk perempuan tanpa ada penguatan kepada siswa laki-laki tentang pentingnya memperlakukan teman-teman perempuan dengan penuh hormat, pelajaran apa yang sedang disampaikan guru tersebut kepada siswa perempuannya? Pada siswa laki-laki? Ketika gurauan tentang tubuh perempuan tidak dianggap sebagai perundungan dan siswa perempuan yang mengalaminya tidak mendapat pembelaan dari pihak sekolah, pelajaran apa yang diterima anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki? Apakah sebagai lingkungan belajar, baik lingkungan fisik maupun sosial, sekolah sudah dirancang secara adil merespon kebutuhan tumbuh kembang seluruh anak termasuk anak-anak perempuan? 

Masih banyak ruang untuk kita mewujudkan pendidikan dan sekolah ramah perempuan. Untuk Indonesia, agendanya bukan lagi tentang pemenuhan hak untuk bersekolah yang setara, tetapi pemenuhan hak untuk lebih berdaya secara setara dalam sistem pendidikan, dan melalui pendidikan.