PSPK Dorong Kolaborasi Lintas Sektor untuk Pelindungan Anak di Ruang Digital 

Jakarta, 14 Juni 2025,  Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) bersama Indonesian Institute for Education Reform (IIER) menggelar forum diskusi publik Reformer Talk #2 bertajuk “Di Balik Layar Gawai: Bagaimana Kita Menjaga Anak-anak dari Bahaya Dunia Digital?” sebagai bagian dari upaya mendorong implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP TUNAS) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.

Forum yang berlangsung secara daring pada Sabtu, 14 Juni 2025 ini menjadi ruang kolaboratif antara pemerintah, akademisi, orang tua, masyarakat sipil untuk membahas solusi nyata dalam menghadapi risiko-risiko yang dihadapi anak di ruang digital. 

Wakil Direktur PSPK, Pandu Ario Bismo, menekankan pentingnya memperkuat fungsi keluarga dalam ekosistem pendidikan digital.

“Anak-anak membutuhkan panduan, bukan larangan. Peran orang tua dan guru sebagai pengarah nilai sangat menentukan agar ruang digital tidak menggerus karakter dan fokus belajar mereka,” ujarnya dalam sesi pemaparan.

Sebagai lembaga kajian yang mendorong kebijakan berbasis bukti, PSPK melihat bahwa PP TUNAS tidak hanya membutuhkan sosialisasi luas, tetapi juga keterlibatan aktif dari aktor-aktor pendidikan di akar rumput untuk mengawal implementasinya secara kontekstual dan partisipatif.

Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital, KOMDIGI, Mediodecci Lustarini, S.K.M., S.H., M.C.MS, dalam paparannya menekankan pentingnya literasi digital yang inklusif dan perlindungan yang berbasis risiko.

“PP TUNAS hadir bukan untuk melarang teknologi, tetapi untuk menata ruang digital agar lebih selaras dengan kepentingan terbaik anak. Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil sangat krusial dalam menjaga anak dari potensi bahaya seperti konten kekerasan, eksploitasi, dan adiksi digital,” tegas Mediodecci.

Dalam sesi tanggapan, Claudya Tio Elleosa (orang tua dan tenaga ahli komunikasi publik) dan Aretha Ever Ulitua Samosir (psikolog anak dari HIMPSI) menyampaikan refleksi dari lapangan terkait tantangan pengasuhan di era digital dan dampak paparan gawai pada perkembangan anak.

“Sering kali kita memberikan gawai sebagai solusi cepat untuk anak tantrum. Tapi yang sesungguhnya mereka butuhkan adalah koneksi, bukan distraksi. PP TUNAS bisa menjadi pengingat bahwa orang tua perlu memimpin dengan empati dan informasi yang benar.” tambah Claudya.

Sementara Aretha Ever Ulitua Samosir mengangkat sisi psikologis dari paparan digital berlebih, “Paparan layar yang tidak terkontrol bisa memicu brain rot, menurunkan rentang atensi, dan memperbesar risiko kecemasan sosial. Aturan seperti PP TUNAS adalah pijakan awal, namun yang paling penting adalah bagaimana kita menata keseharian anak-anak kita—online dan offline.”

Dalam diskusi ini, PSPK dan IIER mendorong empat agenda strategis diantaranya: 

  1. Meningkatkan pemahaman isu di kalangan orang tua, sekolah, dan masyarakat,
  2. Menyusun strategi implementasi kolaboratif antara PSE dan lingkungan anak,
  3. Membangun ruang untuk kritik dan penyempurnaan kebijakan, dan
  4. Memperkuat kolaborasi lintas kementerian dan sektor.

Sebagai bagian dari rangkaian advokasi kebijakan digital anak, Reformer Talk #2 akan ditindaklanjuti dalam Reformer Workshop yang difokuskan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis temuan lapangan dan menjadi forum tindak lanjut untuk merumuskan rekomendasi konkret bagi penyempurnaan pelaksanaan PP TUNAS.

Add a Comment

Your email address will not be published.