Rilis Media : PSPK Dorong Implementasi Efektif Reformasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025
Jakarta, 07 Maret 2025, PSPK mendukung seluruh upaya untuk memenuhi kebutuhan setiap anak Indonesia akan layanan pendidikan bermutu. Dengan latar belakang keluarga dan kemampuan anak yang beragam, mekanisme penyediaan akses pendidikan tidak bisa disamaratakan. Sejak tahun 2017, Pemerintah telah mencoba menjamin hak akses pendidikan setiap anak melalui kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang terdiri atas empat jalur, yakni zonasi (berdasarkan jarak tempat tinggal ke sekolah), afi rmasi status sosial ekonomi dan disabilitas, prestasi, dan perpindahan orang tua/wali. Bagi PSPK, ragam jalur itu menandai komitmen pemerintah untuk menjamin keadilan sosial, di mana akses terhadap sekolah negeri bukan hanya menjadi hak anak-anak berprestasi, melainkan juga anak-anak dari keluarga kurang mampu maupun penyandang disabilitas.
Pemerintah melalui Kemendikdasmen telah meluncurkan kebijakan baru, yaitu Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), untuk menggantikan kebijakan PPDB sebelumnya. PSPK mengapresiasi kebijakan terbaru pemerintah yang mempertahankan ragam kriteria dalam mekanisme seleksi, yakni prestasi, wilayah tempat tinggal (domisili), afi rmasi status sosial ekonomi dan disabilitas, serta perpindahan orang tua/wali (mutasi).
Dipertahankannya empat jalur ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk tetap menjamin keadilan sosial. Selain itu, kebijakan ini juga berlandaskan prinsip yang tetap menjadikan sekolah negeri sebagai ruang inklusif yang memungkinkan bertemunya beragam murid berdasarkan tingkat prestasi, status sosial ekonomi, status disabilitas, maupun latar belakang agama dan budaya.
Meski empat jalur penerimaan murid tetap dipertahankan, PSPK mengidentifikasi adanya sejumlah perubahan kebijakan SPMB. Perubahan tersebut terkait dengan kriteria dan mekanisme seleksi dalam masing-masing jalur (Tabel 1) dan kuota untuk masing-masing jalur (Tabel 2).
Tabel 1. Perubahan Ketentuan Penerimaan Murid Baru

Tabel 2. Perubahan Kuota Setiap Jalur Penerimaan Murid Baru

Sehubungan dengan perubahan-perubahan di atas, PSPK menyoroti empat hal di bawah ini dan mengajukan sejumlah rekomendasi agar implementasi kebijakan SPMB di tingkat daerah dilakukan secara berkeadilan untuk mengakomodasi anak-anak dengan beragam latar belakang dan kemampuan.
Pertama, PSPK menyoroti penurunan kuota minimal jalur domisili dan penambahan kuota di Jalur Prestasi. Semula jalur prestasi dibuka setelah pemerintah daerah menetapkan kuota jalur lainnya, namun kebijakan baru mengatur kuota minimal 25% (SMP) dan 30% (SMA). Jalur Domisili dan Prestasi di jenjang SMA bahkan memiliki kuota minimal yang sama, yakni 30%. Dalam kebijakan sebelumnya, Jalur Zonasi (sekarang bernama Domisili) dengan kuota minimal 50% telah berkontribusi menurunkan kesenjangan hasil belajar antar sekolah. Oleh karena itu, PSPK mengharapkan agar pemerintah daerah menetapkan kuota Jalur Domisili yang lebih besar dari kuota Jalur Prestasi. Penggunaan jarak sebagai kriteria dalam Jalur Domisili dapat membuka kesempatan bagi semua anak dari berbagai latar belakang, termasuk kelompok murid yang berprestasi maupun yang kurang berprestasi, untuk menempuh pendidikan di sekolah negeri.
Perubahan kuota tersebut bagi PSPK bukan sekadar perubahan teknis namun menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Pada kebijakan PPDB sebelumnya, Jalur Prestasi merupakan kuota “sisa” setelah kuota jalur lainnya ditetapkan; sementara pada kebijakan SPMB, ditetapkan kuota minimum 30% untuk Jalur Prestasi. Perubahan ini mengisyaratkan bahwa dibandingkan sebelumnya, pemerintah saat ini lebih mementingkan meritokrasi, apalagi jika dibandingkan dengan periode ketika kebijakan Jalur Zonasi diperkenalkan pada tahun 2017.
Kedua, PSPK menyoroti penggunaan kemampuan akademik sebagai kriteria prioritas dalam seleksi calon murid SMA di Jalur Domisili ketika jumlah pendaftar melebihi kuota. Hal ini berpotensi hanya menguntungkan anak-anak dari keluarga sejahtera yang lebih mampu bersaing dan berprestasi, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah penelitian. Pada mulanya Jalur Zonasi dirancang dengan paradigma bahwa akses ke sekolah negeri harus terbuka, tidak boleh berpihak kepada kelompok sosial ekonomi tertentu, terbuka untuk yang miskin maupun kaya, dan tidak hanya untuk yang paling berprestasi. Penggunaan kriteria kemampuan akademik untuk Jalur Domisili mengubah paradigma tersebut. SPMB membuat anak-anak kembali harus bersaing secara akademik (sistem meritokrasi), dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa persaingan akademik akan cenderung lebih menguntungkan anak dari keluarga yang lebih sejahtera.
Ketiga, PSPK menyambut baik kebijakan pemerintah pusat terkait kriteria seleksi di Jalur Prestasi yang tetap mengapresiasi keragaman kemampuan murid. Seperti yang terlihat dalam tabel di atas, seleksi di Jalur Prestasi dapat menggunakan kriteria capaian akademik maupun non akademik. Selain itu, dengan masuknya kriteria kemampuan akademik dalam seleksi di Jalur Domisili jenjang SMA, PSPK merekomendasikan agar pemerintah daerah menetapkan kriteria kemampuan akademik secara luas, yang mencakup kompetensi holistik yang dibutuhkan seorang murid untuk hidup di masyarakat. Kriteria ini harapannya tidak hanya mencerminkan hasil pembelajaran intrakurikuler, tetapi juga kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Keempat, masalah mendasar dalam mekanisme penerimaan murid baru adalah kurangnya daya tampung sekolah negeri di sejumlah daerah. Sebagai contoh, jika hanya mengandalkan sekolah negeri, terdapat 310 kabupaten/kota yang kekurangan daya tampung di jenjang SMA/sederajat. Pelibatan sekolah swasta berkualitas maupun satuan pendidikan di bawah kementerian lain dalam kerangka kebijakan saat ini memang dapat menjadi solusi yang relevan untuk mengatasi kurangnya daya tampung di beberapa daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah perlu memberikan bantuan biaya pendidikan bagi murid-murid yang akan disalurkan ke satuan pendidikan swasta, terutama kelompok murid miskin.
Namun, tantangan ini juga perlu diatasi dengan solusi jangka panjang. PSPK Mendorong agar pemerintah pusat dan daerah juga merancang strategi berkelanjutan untuk mengatasi kekurangan daya tampung. Di sebagian daerah, terutama di jenjang SMA/sederajat, alternatif solusi jangka panjang tersebut sangat mungkin berupa pembangunan ruang kelas atau bahkan unit sekolah negeri baru. Selain itu, dengan adanya rencana Pemerintah untuk memperluas wajib belajar menjadi 13 tahun, maka penyediaan layanan SMA/Sederajat oleh Pemerintah secara adil dan merata menjadi suatu komponen yang tidak terpisahkan.
Sebagai penutup, PSPK memandang pentingnya evaluasi untuk melihat dampak kebijakan SPMB terhadap hasil belajar murid. Sekolah yang berkualitas memiliki rangkaian kegiatan pembelajaran yang mampu memfasilitasi perkembangan murid secara utuh. Dengan kata lain, evaluasi dampak dilakukan dengan melihat perubahan capaian hasil belajar murid, yakni capaian di awal saat masuk sekolah dan capaian setelah mengikuti pembelajaran di sekolah tersebut selama beberapa waktu.
Nisa Felicia, Ph.D
Direktur Eksekutif PSPK
***
Kontak Media:
Rahmania Adinda Oktavianti
Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK)
Telp: +62 822-3460-1072Email: rahmania@pspk.id