Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan

Oleh:

Komitmen Pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang merata telah dinyatakan dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2024-2045 (BAPPENAS, belum diterbitkan). Isu learning loss (kehilangan pembelajaran) dan learning gap (kesenjangan pembelajaran) yang kerap dibicarakan saat Pandemi COVID-19 sebenarnya merupakan krisis pembelajaran yang telah lama terjadi di tanah air. Bahkan jauh sebelum sekolah-sekolah ditutup karena pandemi tersebut, hasil belajar anak-anak Indonesia tertinggal jauh dari negara maju dan sebagian anak Indonesia mendapatkan kualitas pendidikan yang jauh di bawah teman-teman sebangsanya (Anggraena et al., 2022). Capaian anak-anak Indonesia usia 15 tahun yang diukur melalui tes PISA (the Programme for International Student Assessment) merupakan salah satu indikator yang kerap digunakan untuk menjelaskan krisis pembelajaran yang berkepanjangan di Indonesia. Tes ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hampir 20 tahun, tren peningkatan capaian literasi dan numerasi anak Indonesia sangat landai atau sangat lambat. Mayoritas anak Indonesia berada di bawah level minimum kompetensi literasi yang perlu dicapai. Hanya sekitar 30% saja yang mencapai atau melampaui level minimum literasi membaca, dan sekitar 28% untuk literasi matematika (OECD, 2019). Rendahnya persentase ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak Indonesia belum mendapatkan hak mereka akan pendidikan yang berkualitas. 

Selain rendahnya capaian mayoritas anak-anak Indonesia, berbagai kajian di Indonesia juga secara konsisten menunjukkan kesenjangan capaian menurut latar belakang status sosial-ekonomi (socioeconomic status yang seterusnya disingkat sebagai SES). Analisis hasil tes PISA 2015 menunjukkan bahwa SES murid secara signifikan berkontribusi terhadap hasil tes tersebut, baik SES secara individu maupun kolektif (Aditomo dan Felicia, 2018). Pengaruh SES individu yang dimaksud adalah kesenjangan hasil tes antara murid dari keluarga yang lebih sejahtera dengan murid dari keluarga dengan SES yang lebih rendah. Artinya, dua (atau lebih) murid, meskipun mereka bersekolah di SMP atau SMA yang sama, namun datang dari keluarga dengan tingkat SES yang berbeda, maka dapat diprediksikan bahwa anak dari keluarga yang lebih sejahtera skor tesnya lebih tinggi. Dengan demikian, faktor kualitas sekolah saja tidak cukup untuk menjelaskan adanya ketimpangan hasil belajar anak-anak Indonesia.

Analisis yang dilakukan Aditomo dan Felicia (2018) tersebut juga menemukan dampak SES secara kolektif. Mayoritas sekolah di Indonesia, baik swasta maupun negeri, tersegregasi menurut SES. Sebagian sekolah mayoritas muridnya dari keluarga SES tinggi, dan konsekuensinya ada juga sekolah-sekolah yang mayoritas muridnya dari keluarga SES rendah. Sekolah (SMP maupun SMA) yang mayoritas muridnya dari keluarga SES tinggi menunjukkan skor literasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sekolah yang mayoritas muridnya dari SES rendah. Perbedaan input murid menurut SES ini menjadi prediktor kuat untuk kualitas hasil belajar. Oleh karena itu, tersegregasinya akses pendidikan terutama pendidikan yang disediakan oleh negara menjadi salah satu sorotan PSPK karena dampaknya yang nyata terhadap kesenjangan hasil belajar dan selanjutnya terhadap kesempatan untuk mencapai kesejahteraan hidup di masa depan mereka. 

Sebagai organisasi masyarakat sipil (civil society organization atau CSO) PSPK berupaya untuk mengambil peran dalam mengadvokasi kebijakan yang menguatkan kesempatan pendidikan berkualitas yang berkeadilan, salah satunya melalui pengajuan satu set rekomendasi kebijakan pendidikan untuk lima tahun ke depan (tahun 2024-2029). Mengatasi masalah kesenjangan kesempatan pendidikan sudah menjadi bagian dari visi misi organisasi. Bagi PSPK, akses dan kualitas pembelajaran adalah satu kesatuan, di mana setiap anak berhak untuk mendapatkan akses ke pendidikan yang berkualitas. Selain itu, PSPK memilih untuk fokus pada kebijakan-kebijakan yang dinilai dapat menutup kesenjangan kesempatan pendidikan berbasis SES karena dua hal. Pertama, kajian-kajian di Indonesia (misalnya Pattinasarany, 2016; Felicia 2016; World Bank, 2019) menunjukkan seriusnya isu kesenjangan yang secara sistematis membuat anak-anak dari keluarga SES yang lebih rendah termarjinalkan dalam berkesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau (affordable). 

Kedua, berefleksi atas pengalaman bermitra dengan Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, PSPK menilai bahwa berbagai kebijakan pendidikan semakin mengarah pada upaya pemerataan kesempatan pendidikan. Ini adalah suatu langkah yang baik dan penting, sehingga perlu terus dikuatkan pada masa pemerintahan berikutnya. Di sisi lain, PSPK juga menjumpai bahwa paradigma tentang pendidikan yang berkeadilan masih berbeda/bertentangan bahkan di kalangan para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan. Misalnya, dengan dipengaruhi paradigma meritokrasi, sebagian berpandangan bahwa akses pendidikan yang disediakan negara perlu berbasis pada prestasi (merit). Sementara bagi yang lain (termasuk PSPK) akses pendidikan yang berkeadilan berarti sistem yang tidak secara signifikan memarjinalisasi anak-anak dari kelompok sosial tertentu, dan penggunaan kriteria prestasi lebih menguntungkan anak-anak dari kelompok sosial yang lebih sejahtera.  

Perbedaan paradigma tersebut menjadi salah satu alasan yang mendorong PSPK untuk merekomendasikan kebijakan yang berorientasi pada pemerataan kesempatan pendidikan. Berdasarkan refleksi PSPK mendampingi Pemerintah Pusat maupun Daerah, seiring proses formulasi kebijakan berlangsung, para pembuat kebijakan serta pemangku kepentingan yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan pun berangsur-angsur memiliki pemahaman yang selaras tentang makna pendidikan yang berkeadilan. Hal ini menunjukkan pentingnya konsistensi paradigma yang digunakan, baik konsistensi antara Pemerintah Pusat dan Daerah maupun konsistensi antar kebijakan dari waktu ke waktu.

KILAS PENDIDIKAN edisi ini ditujukan untuk menjelaskan latar belakang rekomendasi kebijakan untuk menguatkan pendidikan berkualitas yang berkeadilan dan berpihak kepada anak. KILAS PENDIDIKAN ini juga menjadi pembuka untuk edisi-edisi berikutnya yang akan mengeksplorasi masing-masing kebijakan yang menjadi pilar advokasi menghadirkan pembelajaran berkualitas yang berkeadilan lintas jenjang secara lebih mendalam. Merujuk pada perkembangan sistem dan kebijakan pendidikan nasional serta berefleksi pada peran PSPK dalam advokasi dan dukungan strategis dalam formulasi dan implementasi kebijakan di tingkat Pusat dan Daerah, PSPK menentukan lima area kebijakan pendidikan yang dinilai penting, mendesak untuk dilakukan, dan berpotensi untuk memberi dampak nyata terhadap upaya menutup kesenjangan kualitas hasil belajar. 

Lima area kebijakan yang dimaksud adalah: akses yang berkeadilan ke sekolah yang berkualitas dan terjangkau, pembelajaran berkualitas yang berkeadilan, pemerataan guru berkualitas, pendidikan vokasi sebagai persiapan kerja, serta pemerataan akses dan kualitas pendidikan tinggi. Berbasis pada data empiris, kajian literatur, dan refleksi atas peran dan upaya yang dilakukan PSPK, KILAS PENDIDIKAN diharapkan dapat menjawab: Bagaimana PSPK memilih lima area kebijakan untuk pendidikan yang lebih berkeadilan? Dengan demikian, KILAS ini berisi penjelasan proses perumusan rekomendasi serta pertimbangan kompleksitas sistem pendidikan untuk menilai probabilitas keberhasilan implementasi kebijakan yang diusulkan tersebut.   

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, KILAS PENDIDIKAN ini disusun sebagai berikut. Pertama penulis akan menjelaskan visi dari rangkaian rekomendasi kebijakan untuk lima tahun mendatang, yaitu pendidikan berkualitas yang berkeadilan dan berpihak kepada anak, termasuk menjelaskan bagaimana keadilan perlu dipandang dari perspektif Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama. Selanjutnya akan disampaikan satu persatu lima area kebijakan untuk menguatkan pendidikan yang berkeadilan dan berpihak kepada anak berikut latar belakang yang mendasari urgensi kebijakan-kebijakan tersebut. Agar berdampak nyata, perubahan kebijakan bukanlah perkara yang sederhana melainkan membutuhkan dukungan kolaborasi berbagai pihak, kapasitas birokrat serta seluruh pemangku kepentingan ekosistem pendidikan, anggaran, dan pemahaman publik yang selaras. Maka pada bagian selanjutnya akan disampaikan kompleksitas sistem pendidikan Indonesia serta bagaimana kompleksitas tersebut perlu menjadi pertimbangan dan perlu diintervensi agar mendukung pencapaian kebijakan yang direkomendasikan.

One thought on “Rekomendasi Kebijakan untuk Pendidikan Berkualitas yang Berkeadilan”

  1. Era Fitria Ramadhan Desember 16, 2023

    Buku yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak, syarat informasi kondisi ekosistem pendidikan anak di Indonesia, kajian komprehensif hampir dari semua aspek berdasarkan data dan sumber yang valid, terbaru dan bisa diakses. Terimakasih tim author, semoga akselerasi kebijakan2 ‘baik’ area pendidikan di Indonesia terwujud lebih cepat.

Add a Comment

Your email address will not be published.